IDENESIA.CO – Penolakan sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta terhadap pasokan BBM Pertamina belakangan memicu polemik. Salah satu alasannya adalah dugaan kandungan etanol dalam bahan bakar yang disebut berbeda dari kesepakatan awal.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa pencampuran zat aditif maupun etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM) bukanlah bagian dari base fuel (bahan bakar dasar) yang keluar langsung dari kilang. Menurutnya, praktik tersebut merupakan strategi dagang masing-masing perusahaan untuk meningkatkan kualitas dan memenuhi standar tertentu.
Fabby menjelaskan bahwa base fuel adalah produk murni yang keluar dari kilang dengan angka oktan tertentu. Zat aditif atau etanol biasanya dicampurkan kemudian, tergantung standar kualitas yang ingin dicapai perusahaan, baik terkait performa mesin maupun regulasi lingkungan.
“Base fuel itu seharusnya tanpa etanol. Etanol maupun zat aditif lainnya dicampurkan setelahnya. Misalnya, di sejumlah negara, pencampuran etanol dilakukan karena ada standar biofuel atau kebijakan energi terbarukan,” kata Fabby saat dihubungi MNC Portal, Sabtu (4/10/2025).
Ia juga menyebutkan bahwa pencampuran etanol ke dalam base fuel pada dasarnya bisa berdampak positif karena meningkatkan angka oktan dan memperbaiki proses pembakaran di mesin kendaraan. Semakin tinggi kadar oktan, maka pembakaran lebih sempurna sehingga emisi karbon dapat ditekan.
Namun demikian, Fabby mengingatkan bahwa praktik pencampuran ini bisa menimbulkan masalah jika dilakukan di luar kesepakatan awal antara pemasok dan pembeli. Perusahaan swasta yang membeli base fuel biasanya telah memiliki formula zat aditif sendiri untuk menyesuaikan standar Research Octane Number (RON) yang mereka pasarkan.
“Kalau mereka beli base fuel yang sudah dicampur etanol, berarti angka oktannya naik. Ketika ditambahkan lagi aditif mereka, bisa jadi angka oktan malah lebih tinggi dari standar produk mereka. Padahal perjanjiannya adalah base fuel, yakni apa yang keluar langsung dari kilang,” jelasnya.
Fabby mencontohkan, jika suatu impor disebut base fuel RON 90, maka seharusnya angka oktannya memang 90 dari kilang. Namun jika ternyata base fuel tersebut awalnya hanya RON 86 lalu dicampur etanol 3,5% agar naik menjadi RON 90, maka statusnya berubah.
“Itu sudah bukan base fuel murni, melainkan campuran. Dampaknya bisa jadi sama dengan Pertalite,” ujarnya.
Fabby menambahkan, meskipun pencampuran etanol sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong penggunaan biofuel, praktik ini tetap harus dilakukan secara transparan. Hal ini penting untuk menghindari kerancuan di tingkat konsumen maupun pelaku usaha.
(Redaksi)
