Minggu, 24 November 2024

Festival Erau Merupakan Budaya Tertua di Nusantara

Kamis, 8 Desember 2022 18:0

NAGA - Festival Erau salah satu budaya tertua yang ada ada di Nusantara./ Foto: Pariwisata Indonesia

IDENESIA.COErau merupakan salah satu festival budaya tertua di nusantara. Tradisi tahunan ini telah berlangsung selama berabad-abad, seiring perjalanan sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Bisa dikatakan, Erau telah berlangsung sejak masa awal Kesultanan Kutai berdiri.

Istilah “erau” berasal dari kata “eroh” yang dalam bahasa Melayu Kutai Tenggarong bermakna keramaian pesta ria atau secara umum dapat dimaknai sebagai pesta rakyat. Dahulu, Erau merupakan hajatan besar bagi Kesultanan Kutai dan masyarakat di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini mencakup sebagian besar wilayah Kalimantan Timur. Pada awalnya, perhelatan ini berlangsung selama 40 hari 40 malam dan diikuti oleh segenap lapisan masyarakat.

Upacara Erau sudah ada pada abad ke-13 sebelum masehi. Raja pertama Kutai, Aji Batara Agung Dewa Sakti dari 1300 hingga 1325, disebut yang pertama memulainya. Suatu hari ketika ia hendak mandi, kesultanan mengadakan Erau Tijak Tanah sebagai bentuk penghormatan. Sejak saat itulah, upacara Erau diadakan hampir setiap tahun sampai saat ini.

Arti Erau tertulis jelas dalam buku Salasilah Kutai yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1981. Secara terminologi, Erau berasal dari kata Eroh (bahasa Kutai) yang artinya ramai, hilir mudik, bergembira, atau berpesta ria.

Menurut riwayat yang diyakini masyarakat Kutai secara turun temurun, Erau bermula sejak abad ke-12 Masehi. Catatan sejarah menyebutkan Erau pertama kali berlangsung saat Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia belia. Ia dikemudian hari diangkat menjadi sultan pertama Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Seiring perjalanan waktu, Kesultanan Kutai kemudian bergabung dalam wilayah Republik Indonesia. Sampai dengan tahun 1960, Kutai berstatus Daerah Istimewa dengan Sultan sebagai kepala daerah. Setelahnya, status Kutai beralih menjadi kabupaten dan kepala pemerintahan dipegang oleh bupati. Peralihan ini menjadi penanda berakhirnya era Kesultanan Kutai yang telah berdiri selama lebih dari 7 abad. Meski demikian, Erau sebagai salah satu peninggalan budaya dari Kesultanan Kutai tetap bertahan.

Erau yang dilangsungkan menurut tata cara Kesultanan Kutai terakhir kali diadakan pada tahun 1965. Kemudian, atas inisiatif pemerintah daerah dan izin dari pihak Kesultanan, tradisi ini mulai dihidupkan kembali pada tahun 1971. Hanya saja, penyelenggaraannya tidak satu tahun sekali melainkan menjadi dua tahunan dan dengan beberapa persyaratan. Sejak saat itulah pelaksanaan Erau menjadi ajang pelestarian budaya warisan Kesultanan Kutai dan berbagai etnis yang hidup di dalamnya.

Erau dilangsungkan bertepatan dengan hari jadi Kota Tenggarong, yaitu setiap tanggal 29 September. Tetapi, sejak tahun 2010, pelaksanaan festival ini dimajukan menjadi Bulan Juli karena menyesuaikan dengan musim liburan sehingga lebih banyak wisatawan yang datang. Festival ini dimeriahkan oleh beraneka kesenian, upacara adat dari Suku-suku Dayak, dan lomba olahraga ketangkasan tradisional.

Tahun 2013 menjadi penanda era baru dari pelestarian budaya warisan Kutai Kartanegara. Untuk pertama kalinya, Erau disandingkan dengan perhelatan budaya tradisional dari berbagai negara. Dalam perhelatan bernama Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF), berbagai kesenian dan tradisi di lingkup Kesultanan Kutai bersanding dengan warisan budaya dunia dari berbagai bangsa di penjuru dunia. Ajang ini sekaligus memperkenalkan peninggalan kearifan lokal masyarakat Kutai kepada dunia. Para delegasi dari berbagai negara diundang untuk ikut terlibat dalam berbagai ritual adat yang berlangsung selama pelaksanaan Erau.

Pada saat erau juga ada kegiatan yang namanya belimbur. Erau juga memiliki makna sebagai pembersihan atau mensucikan diri. Oleh karena itu, pada penutupan upacara Erau, dilaksanakan belimbur atau prosesi siram-siraman. Dengan memercikkan air bersih kepada masyarakat diharapkan dapat menjauhkan diri dari berbagai macam penyakit dan mara bahaya.

(Redaksi) 

Tag berita:
IDEhabitat