IDENESIA.CO - Berkembangnya hilirisasi di sejumlah wilayah di Indonesia, tidak serta merta membuat masyarakat sekitar menjadi sejahtera, seperti yang terjadi di Morowali.
Dikatakan Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan demikian, pasalnya perekonomian yang tumbuh di kisaran lima persen satu dekade terakhir tak serta merta membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Masih tinggi angka kemiskinan di sejumlah daerah menandakan kegagalan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas.
Menurutnya, pertumbuhan yang tak inklusif itu secara nyata terlihat di wilayah yang menjadi destinasi investasi penghiliran produk sumber daya alam (SDA).
Di wilayah-wilayah tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena penanaman modal tak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
"Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi era Presiden Jokowi cenderung tidak inklusif," ujar Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono dilansir Media Indonesia, Jumat, 14 Juni 2024.
Morowali, misalnya, mengalami penurunan kemiskinan yang lamban dan menyebabkan masih banyak penduduk miskin di wilayah tersebut.
Pada 2015, angka kemiskinan Morowali mencapai 15,8 persen dan pada 2023 masih di kisaran 12,3 persen, jauh di atas rerata nasional yang hanya di kisaran 9,4 persen.
Padahal Morowali merupakan contoh terdepan adopsi hilirisasi berbasis ekstraktivisme. Terjangan hilirisasi menerpa Morowali sejak 2015 ketika pangsa sektor industri pengolahan terhadap PDRB melonjak dari hanya 12 persen pada 2014 menjadi 30 persen pada 2015.
Pada 2022, wajah daerah kaya nikel itu berubah drastis dengan kontribusi industri pengolahan dalam perekonomian menembus 73 persen. Seiring derasnya hilirisasi, pertumbuhan ekonomi Morowali melesat, menembus 38 persen per tahun sepanjang 2015-2022.
"Peran PDRB Morowali dalam PDB nasional melonjak dari hanya 0,07 persen pada 2014 menjadi 0,75 persen pada 2022. Namun kualitas pertumbuhan ekonomi Morowali tampak luar biasa itu terlihat rendah," kata Yusuf.Angka kemiskinan di Konawe tak banyak berubah.
Tak hanya Morowali, dia juga menyebut pengalaman serupa terjadi di Konawe dan Halmahera Tengah. Angka kemiskinan di Konawe tidak banyak berubah, dari 13,5 persen pada 2018 menjadi 13,0 persen pada 2023. Padahal rerata pertumbuhan ekonomi Konawe sepanjang 2018-2022 mencapai 9,4 persen per tahun.
Lalu, di Halmahera Tengah, angka kemiskinan tercatat masih tinggi lantaran penurunan yang lamban, yakni dari 14,1 persen pada 2019 menjadi 11,4 persen pada 2023. Padahal pangsa sektor industri pengolahan Halmahera Tengah melonjak drastis dari hanya 6 persen pada 2019 menjadi 60 persen pada 2022.
Adapun rerata pertumbuhan ekonomi Halmahera Tengah sepanjang 2020-2022 mencapai 98,7 persen. Peran PDRB Halmahera Tengah dalam PDB nasional pun melonjak dari 0,01 persen pada 2018 menjadi 0,11 persen pada 2022.
Pengalaman lebih buruk terjadi di Halmahera Selatan. Angka kemiskinan Halmahera Selatan meningkat dari 4,1 persen pada 2017 menjadi 5,7 persen pada 2023.
Padahal hilirisasi nikel sejak 2017 mengubah wajah Halmahera Selatan yang pangsa sektor industri pengolahan melonjak drastis dari hanya 9 persen pada 2016 menjadi 48 persen pada 2022. Rerata pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017-2022 menembus 16 persen per tahun.
"Pengalaman Halmahera Selatan semakin ironis karena sebelum era hilirisasi nikel, pertumbuhan ekonomi justru jauh lebih inklusif. Angka kemiskinan Halmahera Selatan turun secara konsisten dari 14,1 persen pada 2005 menjadi hanya 4,1 persen pada 2016," jelas Yusuf.
(Redaksi)