IDENESIA.CO - Badai matahari diperkirakan akan terjadi pada awal Oktober 2024, NASA memprediksi badai matahari akan ditandai dengan pelepasan jilatan api atau letupan suar Matahari x9.05 yang lebih kuat dari kejadian serupa sebelumnya di tahun 2017.
Adapun, jilatan api adalah ledakan energi di permukaan Matahari yang berbentuk semburan cahaya terang. Suar X9 yang dipancarkan Matahari adalah jilatan api terbesar yang dikategorikan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Kekuatan suar yang terkecil adalah B, diikuti oleh C, M, dan X dengan skala paling lemah 1 dan paling kuat 9.
Fenomena ini dapat mengganggu magnetosfer Bumi, khususnya di Eropa dan Afrika, yang akan mengalami pemadaman radio gelombang pendek.Letupan tersebut berasal dari bintik Matahari AR3842 dan disertai pelepasan coronal mass ejection (CME) menuju Bumi.NASA memprediksi badai geomagnetik berlangsung dari 4 hingga 6 Oktober.
Jilatan api tersebut berasal dari kelompok bintik Matahari AR3842. Bintik Matahari ini juga melepaskan jilatan api Matahari X7.1 pada Selasa (1/10/2024). Pelepasan jilatan api Matahari X7.1 sangat kuat dan melepaskan lontaran massa korona (CME) atau gumpalan plasma dan medan magnet yang melesat ke arah Bumi. Kombinasi CME dan jilatan api dapat menciptakan badai Matahari yang berinteraksi dengan medan magnet Bumi atau magnetosfer
Disampaikan Profesor riset astronomi dan astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin mengatakan, Indonesia sebenarnya mengalami dampak badai Matahari pada awal Oktober ini. Dampak yang muncul adalah gangguan komunikasi radio pada tingkat menengah.
“Namun, dampak lainnya relatif tidak signifikan di Indonesia,” kata Thomas dilansir dari Kompas.com, Sabtu (5/10/2024).
Ia mengatakan, badai yang terjadi sebenarnya letupan atau flare di Matahari yang memengaruhi cuaca antariksa. Pada Kamis (3/10/2024), telah terjadi flare dengan intensitas yang kuat dengan skala X9.
Peristiwa tersebut, kata Thomas, membuat pancaran sinar ultraviolet yang meningkat langsung mempengaruhi ionosfer di kawasan Eropa dan Afrika yang sedang mengalami siang hari.Adapun, ionosfer adalah salah satu lapisan pelindung Bumi atau atmosfer yang molekulnya mengalami ionasi.
“Ionosfer yang terganggu tersebut menyebabkan terputusnya komunikasi radio gelombang pendek,” jelas Thomas.
Berdasarkan prakiraan cuaca antariksa BRIN pada Jumat (4/10/2024) hingga Sabtu (5/10/2024), telah terjadi sembilan flare. Jumlah tersebut terdiri dari dua flare kelas C, enam flare kelas M, dan satu flare kelas X.
Dampak badai Matahari lainnya Meski tidak berdampak secara signifikan di wilayah Indonesia, beberapa negara Eropa mengalami dampak badai Matahari yang ditandai dengan kemunculan aurora.
Aurora adalah fenomena cahaya alami berkilauan di langit yang bergerak secara lembut seperti tirai tertiup angin. Dilansir dari BBC, Jumat (4/10/2024), aurora yang timbul akibat potensi lontaran CME terjadi di Skotlandia, Irlandia Utara, dan beberapa bagian di Inggris utara.
Manajer Cuaca Antariksa Layanan Meteorologi Inggris (Met Office) Krista Hammond mengatakan, lontaran CME kedua akan menghantam Bumi pada Sabtu (5/10/2024) dan Minggu (6/10/2024). Fenomena tersebut memungkinkan peningkatan visibilitas aurora terjadi lebih jauh ke selatan di seluruh Inggris tengah dan garis lintang yang sama. Selain wilayah Eropa, kemunculan aurora akibat peningkatan aktivitas Matahari juga terjadi di Amerika Serikat (AS), tepatnya di Oregon.
(Redaksi)