Minggu, 6 Oktober 2024

Benarkah Udara Buruk Dapat Mempengaruhi Kognitif Bayi ?

Jumat, 30 Juni 2023 15:29

TERSENYUM - Perkembangan Bayi. / Foto: Istimewa

IDENESIA.CO - Penelitian menunjukan bahwa kualitas udara yang buruk tidak hanya mengganggu pernapasan saja tetapi dapat menyebabkan defisit kognitif pada bayi dan balita.

Penelitian terbaru dari University of East Anglia (UEA), Inggris mengungkap keterkaitan antara kualitas udara yang buruk di India dan gangguan kognitif pada bayi di bawah dua tahun.

Tim peneliti mengungkap hal ini dengan meninjau keluarga pedesaan India.

Tentunya, temuan ini meningkatkan kekhawatiran karena tanpa tindakan, dampak negatif jangka panjang pada perkembangan otak anak dapat berdampak pada kehidupannya di masa mendatang.

Penelitian Akan Kualitas Udara dan Perkembangan Kognitif

Tim peneliti dari UEA berkolaborasi dengan Lab Pemberdayaan Masyarakat di Lucknow, India yang merupakan sebuah organisasi penelitian dan inovasi kesehatan global yang bekerja dengan masyarakat pedesaan untuk terlibat dalam sains secara kolaboratif.

"Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kualitas udara yang buruk terkait dengan defisit kognitif pada anak-anak, serta masalah emosional dan perilaku, yang dapat berdampak parah pada keluarga," ujar peneliti utama Prof John Spencer, dari Sekolah Psikologi UEA.

"Fragmen partikel yang sangat kecil di udara menjadi perhatian utama karena dapat berpindah dari saluran pernapasan ke otak," tambahnya.

Ia juga menambahkan bahwa hingga kini, terdapat beberapa penelitian yang gagal menunjukkan hubungan antara kualitas udara yang buruk terhadap masalah kognitif pada bayi.

Pasalnya, saat pertumbuhan otak mencapai puncaknya, otak mungkin sangat sensitif terhadap racun.

Penelitian ini dilakukan dengan meninjau keluarga dari berbagai latar belakang sosial ekonomi di Shivgarh, sebuah komunitas pedesaan di Uttar Pradesh, salah satu negara bagian di India yang paling terkena dampak kualitas udara yang buruk.

Para peneliti kemudian menilai memori kerja visual dan kecepatan pemrosesan visual dari 215 bayi menggunakan tugas kognisi yang dirancang khusus dari Oktober 2017 hingga Juni 2019.

Pada satu tampilan, bayi-bayi itu ditampilkan kotak-kotak berwarna yang berkedip yang selalu sama setiap kedipan. Pada tampilan lainnya, bayi-bayi akan dihadapkan dengan kotak berwarna yang berubah setelah setiap kedipan.

"Tugas ini memanfaatkan kecenderungan bayi untuk berpaling dari sesuatu yang secara visual akrab dan menuju sesuatu yang baru. Kami tertarik pada apakah bayi dapat mendeteksi sisi yang berubah dan seberapa baik mereka melakukannya saat kami mempersulit tugas dengan memasukkan lebih banyak kotak pada setiap tampilan," jelas Prof Spencer.

Selain itu, para peneliti juga menggunakan pemantau kualitas udara di rumah bayi-bayi tersebut untuk mengukur tingkat emisi dan kualitas udara. Tidak hanya itu, mereka juga memperhitungkan dan mengontrol status sosial dan ekonomi keluarga.

Hasilnya: Terdapat Kaitan Akan Kualitas Udara dan Perkembangan Kognitif Anak

Penelitian ini dipimpin oleh UEA dan bekerja sama dengan Durham University, Community Empowerment Lab di Lucknow (India) serta Brown University (AS) mengungkap kualitas udara yang buruk dapat mempengaruhi perkembangan otak.

"Penelitian ini menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa ada hubungan antara kualitas udara yang buruk dan gangguan kognitif pada dua tahun pertama kehidupan, ketika pertumbuhan otak berada pada puncaknya," jelas Prof. Spencer.

"Dampak seperti itu bisa berlanjut selama bertahun-tahun, berdampak negatif pada perkembangan jangka panjang," tambahnya.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa upaya global untuk meningkatkan kualitas udara dapat memberikan manfaat bagi kemampuan kognitif bayi.

Pasalnya, peningkatan kognitif bayi dapat berdampak pada peningkatan produktivitas ekonomi jangka panjang dan mengurangi beban pada sistem perawatan kesehatan dan kesehatan mental.

Ternyata, studi ini turut mengungkap bahwa faktor kunci yang menyebabkan rendahnya kualitas udara juga disebabkan oleh bahan bakar memasak padat yang umum digunakan di rumah, seperti kotoran sapi.

"Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi emisi masak di rumah harus menjadi target utama untuk intervensi," jelas Prof Spencer.

(Redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat