Jumat, 22 November 2024

Piala Dunia U-20 2023

Dalam Sejarah Indonesia Kena Sanksi dari FIFA Gara-gara Tolak Israel , Apakah Batal U-20 2023 di Indonesia ?

Selasa, 28 Maret 2023 9:22

PEMENANG - Hasil raih Piala Jules Rimet 1962 usai mengalahkan Ceko 3-1. (AFP PHOTO/STAFF)

IDENESIA.CO - Dalam sejarah ternyata Indonesia pernah kena sanksi FIFA dan IOC karena menolak kehadiran Israel. Kini, Merah-Putih kembali terancam hukuman serupa di Piala Dunia U-20 2023.

Drawing Piala Dunia U-20 2023 di Bali dibatalkan FIFA. Babak pengundian yang rencananya digelar pada 31 Maret itu batal menyusul berbagai penolakan terhadap Timnas Israel, salah satu kontestan turnamen ini.

Beberapa insan politik Indonesia sebelumnya menolak kehadiran Timnas Israel di Indonesia.

Gubernur Bali I Wayan Koster, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, serta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera yang menolak Israel main di Indonesia.

Pembatalan drawing Piala Dunia U-20 2023 menimbulkan tanda tanya bagi tuan rumah.

Indonesia bahkan dihantui ancaman untuk batal menyelenggarakan Piala Dunia U-20 karena dianggap tak cakap menjadi tuan rumah.

Tidak hanya itu, Indonesia bisa kena sanksi FIFA apabila batal menyelenggarakan Piala Dunia U-20.

Mulai dari dibekukan FIFA, dikucilkan dari sepakbola internasional, hingga tak lagi dipertimbangkan untuk menjadi tuan rumah turnamen olahraga kelas dunia.

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah dua kali kena sanksi olahraga akibat menolak kehadiran Israel. Hal itu terjadi saat kualifikasi Piala Dunia 1958 dan Asian Games 1962.

Kualifikasi Piala Dunia 1958

Pada 1957, Indonesia menolak bertanding dengan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958. Alasan politik menjadi dasar penolakan tersebut.

Pemerintah Indonesia menganggap laga melawan Israel dapat menyebabkan hilangnya dukungan 14 negara Arab dalam perjuangan Indonesia mengambil kembali Papua Barat di Sidang Umum PBB 1957.

RI saat itu membutuhkan dukungan internasional demi merebut wilayah Papua Barat dari Belanda.

Keputusan pemerintah Indonesia menolak Israel mendapat dukungan penuh Gamal Abdul Nasser.

Presiden Mesir tersebut mengirim pesan khusus agar Indonesia tidak memainkan laga kontra Israel, lantaran hal itu bisa dianggap sebagai sikap tidak simpati Indonesia kepada negara-negara Arab yang menentang Israel.

Berbanding terbalik dengan sikap pemerintah, PSSI masih mengupayakan pertandingan kedua negara digelar.

PSSI menilai penolakan justru akan memunculkan ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah, yang mana dinilai jauh lebih berbahaya ketimbang hilangnya dukungan dari 14 negara-negara Arab.

PSSI melobi langsung FIFA dan meminta pertandingan home-away digelar di tempat netral. Tiga utusan dikirim ke markas FIFA di Swiss, termasuk Kosasih Purwanegara yang menjabat wakil ketua, pada September 1957.

PSSI menyodorkan proposal kepada FIFA untuk menggelar pertandingan melawan Israel di lokasi netral yang dapat diterima Israel. PSSI juga bersedia membayar biaya perjalanan tim nasional Israel.

Proposal PSSI ditolak Israel yang masih ingin memainkan laga kandang di Tel Aviv, tapi tak masalah untuk pertandingan away digelar di tempat netral.

Indonesia dan Israel tidak mencapai kesepakatan sesuai tenggat waktu dari FIFA.

Komite eksekutif FIFA akhirnya mencoret Indonesia dari kualifikasi Piala Dunia 1958. Indonesia dianggap mengundurkan diri karena gagal menyelenggarakan laga kontra Israel dengan alasan politik.

Selain itu, Indonesia juga kena sanksi denda 5.000 franc dari FIFA. Indonesia dinilai melanggar Pasal 6 Peraturan FIFA soal hukuman kepada negara yang mundur ketika sudah memainkan laga kualifikasi Piala Dunia.

Asian Games 1962

Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962. RI menyiapkan kompleks olahraga Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta, untuk menggelar ajang olahraga paling bergengsi se-Asia itu.

Hampir semua negara di Asia diundang, kecuali Israel dan Taiwan. Faktor politik kembali menjadi penolakan Indonesia.

Sama seperti kualifikasi Piala Dunia 1958, Indonesia menolak Israel karena kebijakan pro-Arab sebagai bagian dari perlawanan terhadap kolonialisme Israel terhadap Palestina.

Sementara itu, Indonesia menolak Taiwan karena relasi erat pemerintah dengan Republik Rakyat China (RRC).

Pemerintah China, yang menyokong perjuangan Indonesia merebut Papua Barat dan memadamkan pemberontakan PRRI-Permesta, menganggap Taiwan sebagai bagian dari mereka dan bukan negara berdaulat.

Indonesia juga tidak mengakui kedaulatan Taiwan dan hanya mengakui pemerintahan China pimpinan Mao Zedong. Alhasil, tak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Taiwan.

Asian Games 1962 sukses digelar di Jakarta. Namun, penolakan Indonesia terhadap Israel dan Taiwan berbuntut panjang.

Salah satu pendiri Asian Games sekaligus wakil presiden Federasi Asian Games (AFG) dan anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC), Guru Dutt Sondhi, tidak mengakui penyelenggaraan Asian Games di Jakarta. Indonesia dianggap merusak pesta olahraga itu dengan politik.

Pernyataan Sondhi ditanggapi keras masyarakat Indonesia. Pria India itu diusir dari Indonesia dan massa aksi mengobrak-abrik kantor kedutaan India di Jakarta, kejadian yang dikenal sebagai 'Peristiwa Sondhi'.

Kontroversi Asian Games IV dibahas dalam rapat IOC di Lausanne, Swiss, pada 7 Februari 1963. Hasilnya, keanggotaan Indonesia di IOC ditangguhkan dan Indonesia dilarang tampil di Olimpiade 1964.

Sanksi ini bisa dibilang luar biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, IOC menangguhkan salah satu negara anggotanya.

Indonesia dianggap melanggar aturan IOC dengan memasukkan politik ke dalam olahraga selama Asian Games 1962.

Hukuman ini bisa dicabut asalkan Indonesia berjanji tidak mengulangi kesalahan serupa di masa depan.

Alih-alih minta maaf, pemerintah Indonesia justru berang dengan sanksi IOC. Presiden Soekarno menuding IOC juga main politik dengan melarang RRC masuk sebagai anggotanya.

Soekarno kemudian menarik Indonesia dari keanggotaan IOC. Si Bung Besar mencanangkan Olimpiade tandingan bernama Ganefo yang diikuti negara-negara kekuatan berkembang.

"Sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagai Pemimpin Tertinggi Republik Indonesia, sebagai Panglima Besar Revolusi Indonesia, dan sebagai Pemimpin Tertinggi Front Nasional, saya perintahkan Indonesia untuk keluar dari IOC," ujar Presiden Soekarno dalam pidato di Konferensi Komite Front Nasional pada 13 Februari 1963.

"Saudara-saudara, selain perintah keluar dari IOC, saya juga memerintahkan: Selenggarakan secepat mungkin Ganefo, the Games of the New Emerging Forces -- Asia, Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara sosialis," tegasnya.

 

PERISTIWA -  Pembukaan Ganefo 1963

Ganefo sukses digelar di Jakarta pada 10-22 November 1963. Turnamen tandingan Olimpiade ini diikuti 2.700 atlet dari 51 negara, termasuk Palestina, dengan Republik Rakyat China keluar sebagai pemenang.

Ganefo kedua digelar di Phnom Penh, Kamboja pada 1967 dan hanya diikuti 17 negara Asia. Pesta olahraga negara-negara berkembang ini kemudian kolaps pada 1970 dan hanya tinggal sejarah.

Indonesia kembali bergabung menjadi anggota IOC setelah kejatuhan pemerintahan Presiden Soekarno. Hubungan diplomatik RI dengan Israel dan Taiwan masih belum terjalin hingga saat ini.

(Redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat