Jumat, 22 November 2024

Hampir 150 Tahun Berakhirnya Perbudakan, Belanda Resmi Meminta Maaf

Selasa, 20 Desember 2022 19:54

MAP - Ilustrasi monopoli perdagangan di Kepulauan Maluku oleh VOC sekitar tahun 1605-1608./ Foto: Wikimedia Commons

IDENESIA.CO -  Pada Senin (19/12/2022) Pemerintah Belanda lewat Perdana Menteri Belanda Mark Rutte secara resmi meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan selama 250 tahun.

Ia menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Permintaan maaf ini datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di koloni-koloni luar negeri Belanda, termasuk Suriname di Amerika Selatan, Indonesia di timur, serta  pulau-pulau Karibia seperti Curacao dan Aruba. Aruba adalah bekas koloni Belanda yang pertama bereaksi atas permintaan maaf Rutte. PM Evelyn Wever-Croes menerima permohonan tersebut, tetapi negara lain seperti pulau Sint Maarten mengaku tidak akan menerimanya.

"Hari ini atas nama Pemerintah Belanda, saya meminta maaf untuk tindakan negara Belanda di masa lalu," kata Rutte dalam pidatonya, dikutip dari kantor berita AFP.

Ia mengulangi permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento (bahasa di Kepulauan Karibia), dan Sranan Tongo (bahasa Suriname). "Negara Belanda... memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka," lanjut Rutte kepada audiens di gedung National Archive, Den Haag. "Kami, yang hidup di sini dan sekarang, hanya bisa mengakui dan mengecam perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," tambahnya. Namun, setelah pidato tersebut, perwakilan di Suriname mengeluhkan kurangnya tindakan nyata dari Pemerintah "Negeri Kincir Angin".

Saya tidak melihat banyak hal terkait tindakan Belanda dan itu memalukan," ujar Iwan Wijngaarde, kepala Federasi Afro-Suriname, kepada AFP. "Apa yang benar-benar hilang dalam pidato ini adalah tanggung jawab dan akuntabilitas," menurut Armand Zunder, presiden komisi reparasi nasional Suriname, kepada AFP.

Sejumlah Menteri Belanda melawat ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia dalam rangka permintaan maaf tersebut. Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag dalam kunjungan resmi ke Suriname pekan lalu mengatakan, sebuah proses akan dimulai menuju momen penting lainnya pada 1 Juli tahun depan. Keturunan perbudakan Belanda pada 2023 akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut "Keti Koti" (Memutus Rantai) dalam bahasa Suriname.

Namun, rencana tersebut menimbulkan kontroversi lantaran kelompok-kelompok dan beberapa negara yang bersangkutan mengkritiknya sebagai tindakan terburu-buru, dan merasa kurangnya konsultasi oleh pihak Belanda menunjukkan sikap yang masih kolonial.Ada juga yang menuntut ganti rugi atas kejahatan Belanda pada masa lalu itu.

PM Belanda Mark Rutte dalam pidatonya pada Senin (19/12/2022) mengemukakan, memilih momen yang tepat adalah masalah rumit. "Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang," ucap pria berusia 55 tahun itu.

Diketahui, permintaan maaf Belanda sudah beredar selama bertahun-tahun, tetapi langkah konkretnya baru diambil tahun lalu. Laporan setebal 272 halaman oleh sebuah komisi merekomendasikan agar Belanda mengakui perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan meminta maaf. Para kritikus mengatakan, tanggal pengumuman Rutte pada Senin (19/12/2022) adalah sewenang-wenang, tetapi stasiun tv nasional NOS melaporkan bahwa alasan pemerintah pragmatis termasuk tersedianya para menteri.

Badan Riset I&O dalam surveinya menemukan, di antara 1.457 responden Belanda dari semua latar belakang, hanya sekitar 40 persen yang mendukung permintaan maaf.

(Redaksi)

 

Tag berita:
IDEhabitat