Jumat, 22 November 2024

Mengenal Daerah di Indonesia yang Tak Pernah Dijajah Belanda, Sudah Tahu?

Senin, 5 Desember 2022 15:32

KERAJAAN BUTON: Benteng Keraton Buton/IST

IDENESIA.CO -  Indonesia kini telah merdeka sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir soekarno dan didampingi Moh Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebelumnya, Indonesia pernah memiliki masa lalu yang suram, yakni menjadi bangsa terjajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang.

Menurut catatan sejarah Indonesia, negara yang paling lama menduduki Indonesia yakni Belanda yaitu hampir 350 tahun.

Selama itu, sebagian besar wilayah Indonesia dikuasai oleh Belanda, dari Sabang sampai Merauke.

Namun, ternyata ada daerah yang tidak pernah dijajah oleh Belanda.

Daerah itu ada di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

Jika dilihat dari peta, posisi Buton berada di kaki sebelah kanan Pulau Sulawesi.

Dulu di sini terdapat Kerajaan Buton yang sangat kuat.

"Buton adalah nama kerajaan yang sudah ada sejak abad ke-12. Buton wilayahnya kala itu sangat luas, dari Wakatobi, Bau-bau sampai Kabupaten Buton. Pusat pemerintahannya di

Benteng Keraton," ungkap Kadis Pariwisata Buton, Abdul Zainudin Napa seperti ditulis detikTravel.

Zainudin menambahkan, ada hal spesial yang dimiliki oleh Buton, yakni daerah ini dulu tidak pernah menjadi wilayah jajahan Belanda meski negeri dari Eropa itu sudah memasuki

Indonesia sejak tahun 1600-an.

Bahkan penduduk Buton tidak pernah mengalami kerja paksa oleh para Belanda.

Di abad pertengahan kala negara-negara barat seperti Belanda dan Portugis melakukan ekspansi ke Maluku untuk mencari rempah-rempah, Buton dianggap wilayah yang strategis.

Sebelum tiba di Maluku, kapal-kapal mereka akan singgah terlebih ke Buton terlebih dahulu.

Lantaran Buton memiliki kerajaan yang kuat, tampaknya Belanda tidak ingin repot dan mencari masalah.

Daripada mereka kesulitan mendapatkan rempah-rempah, lebih baik mereka menjalin hubungan yang baik dengan Kerajaan Buton.

"Lihat saja banyak benteng-benteng di Buton yang modelnya seperti benteng Belanda. Itu dibuatnya dibantu mereka. Bukan untuk berperang, hanya untuk memantau kapal-kapal saja,"

jelas Zainudin.

Konon, dulu Buton merupakan sebuah negara sendiri, jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia.

Kerajaan Buton dulu sudah memiliki sistem pemerintahan yang terdiri dari raja, perdana menteri, tentara, dan rakyat seperti negara monarki.

Kerajaan Buton berusaha membangun relasi yang baik kepada kapal-kapal dari negara asing yang melintasi wilayah perairannya.

Pun mereka memantau pergerakan bajak laut dan angkat senjata untuk mengusirnya.

Kerajaan Buton pun berganti nama menjadi Kesultanan Buton sejak pemerintahan Murhum Sultan Kamuddin Khalifatul Khamis di tahun 1538.

Hal itu seiring dengan masuknya Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab yang datang ke Buton.

Sebagai informasi, agama Islam masuk ke Buton dibawa oleh seorang ulama berkebangsaan Arab yang berasal dari Semenanjung Melayu (Johar) bernama Syeikh Abdul Wahid.

Menurut catatan sejarah, Islam mulai masuk di Buton awal abad ke-16, tepatnya tahun 1511.

Sumber lain bahkan menyebutkan Islam sudah masuk ke Buton jauh sebelumnya, namun pada saat itu masyarakat Buton masih kuat meyakini agama yang dianutnya.

Kedatangan Syeikh Abdul Wahid menjadikan pengaruh Islam semakin kuat di Buton.

Berdasarkan teori Islamisasi yang dijelaskan oleh para ahli, Islam yang masuk ke Buton menjadi kekuatan sosial terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi kekuatan politik.

Mulanya, di ajaran Islam diajarkan di kalangan keluarga dan kerabat dengan dengan cara menjalankan beberapa kewajiban agama.

Selain itu, agama Islam juga diajarkan melalui pemberian contoh tingkah laku yang baik untuk ditiru dan diteladani.

Setelah masyarakat mulai meyakini dan mulai menerima ajaran Islam, barulah ajaran Islam mulai diteruskan dengan legitimasi sebagai kekuatan politik.

Para pejabat kerajaan saat itu mulai menyebarkan ajaran Islam secara legal.

Masuknya agama Islam di masyarakat Buton tentunya mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di Buton.

Raja Mulae yang merupakan Raja Buton kelima saat itu bahkan menyampaikan keinginannya untuk merubah ketatanegaraan yang awalnya berbentuk kerajaan menjadi kesultanan.

Syeikh Abdul Wahid yang telah ditetapkan sebagai penasehat/guru agama di kerajaan diutus oleh Raja untuk pergi ke Turki.

Kepergian Syeikh Abdul Wahid ke Turki bermaksud untuk menyampaikan keinginan raja Buton pada Mufti Kerajaan Turki di Istanbul untuk menjadikan Buton kerajaan Islam yang

berbentuk kesultanan.

Syeikh Abdul Wahid kemudian berangkat ke Turki.

Dalam perjalanannya itu, dia meninggalkan Buton selama 15 tahun.

Sekembalinya ke Buton, Raja Mulae rupanya telah wafat dan digantikan oleh menantunya Lakila-ponto yang merupakan raja keenam Kerajaan Buton.

Seiring berjalannya waktu, raja Lakila-ponto yang memerintah saat itu akhirnya memeluk Islam.

Sesuai pesan Mufti kerajaan Islam di Istambul, pada tahun 1538 Raja Lakila-ponto dilantik sebagai sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Muhammad Kaimuddin atau Sultan Marhum.

Hal ini yang kemudian menandai perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi kesultanan.

Sultan Marhum ini disebut sebagai raja terakhir sekaligus sultan pertama yang memerintah Kesultanan Buton.

Sistem Monarki yang berlangsung kurang lebih dua abad diganti berdasarkan konstitusi Islam yang disebut Murtabat Tujuh. (redaksi)

Tag berita:
Berita terkait
IDEhabitat