Minggu, 6 Oktober 2024

Mengenal Istilah Cancel Culture

Sabtu, 24 Desember 2022 19:0

ILUSTRASI - Cancel Culture. / Foto: The Gallery

IDENESIA.CO - Gerakan masif yang dilakukan terhadap sejumlah publik figur yang ramai di media sosial disebut dengan istilah cancel culture.

Contohnya meminta untuk melakukan unfollow akun media sosial hingga tidak mendengarkan lagu-lagu karya salah satu penyanyi yaitu Pamungkas. Hal tersebut dikarenakan adanya aksi tidak senonoh yang dilakukan oleh Pamungkas di atas panggung dan sempat viral.

Kemudian ada juga ajakan untuk tidak menonton film Like & Share di media sosial. Warganet beralasan dalam film tersebut salah satu pemainnya yaitu Arawinda Kirana dituding menjadi perusak rumah tangga orang.

Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyebut istilah cancel culture bukanlah hal yang baru di masyarakat. Cancel culture menurut Devie yaitu sebuah gerakan atau aktivitas untuk melakukan aksi pemboikotan.

"Kemudian seiring perkembangan waktu di era digital dikenal dengan istilah cancel culture," kata Devie.

Kata Devie, awalnya gerakan cancel culture atau pola pemboikotan dilakukan atas dasar untuk memperjuangkan kebenaran. Misalnya perilaku institusi yang sewenang-wenang atau adanya sebuah produk yang tidak memperhitungkan kesehatan. Kemudian juga gerakan untuk tidak menggunakan sebuah brand atau produk.

Kalau saat ini pemboikotan itu dilakukan dengan melakukan aksi unfollow media sosial milik tokoh publik hingga perusahaan yang dianggap bermasalah. Kendati begitu, Devie menilai aksi pemboikotan saat ini kadangkala berbasis praduga tanpa data.

"Sehingga menjadi cancel culture menjadi cancer culture. Karena pada akhirnya aksi pemboikotan cancel culture ini berubah menjadi kanker bisa membunuh orang yang menjadi korban atau institusi yang menjadi korban pemboikotan karena sering kali hanya berbasis praduga bukan berbasis kebenaran," papar dia.

Hal tersebut menurut Devie sangat berbahaya. Sebab orang yang belum dinyatakan bersalah dan terkena cancel culture dapat kehilangan mata pencaharian hingga nama baiknya yang hancur.

Lanjut Devie, seringkali aktivitas cancel culture di media sosial disertai dengan adanya kekerasan verbal atau bullying. "Sebetulnya cancel culture tidak harus dengan aksi kekerasan. Padahal misalnya unfollow itu bagian dari boikot kalau produk kita enggak mau lagi pakai produk tanpa harus harus mencaci maki. Kalau caci maki itu praktik yang mengerikan," jelas Devie.

Cancel Culture Untuk Menjatuhkan seseorang ? 

Sementara itu, pengamat media sosial Abang Edwin Syarif menyatakan cancel culture merupakan sebuah tindakan yang dilakukan masyarakat ketika perilaku atau tindakan seorang tokoh publik atau perusahaan tidak sesuai dengan norma yang ada. Kata dia, setiap orang yang dianggap sebagai tokoh publik akan dihadapkan dengan standar norma yang ada.

Atau para tokoh tersebut dituntut untuk tidak memiliki celah keburukan yang melanggar norma. Ketika hal tersebut terjadi warganet akan menarik dukungannya dengan berbagai tindakan sebagai bentuk pemboikotan.

"Cancel culture tadinya tidak sebesar seperti di media sosial. Tapi begitu ada media sosial itu jadi kaya ada exposure. Jadi makin besar," kata Edwin.

Kata Edwin, tekanan yang diterima para korban cancel culture juga sangat besar di media sosial. Dia mengistilahkan cancel culture seperti halnya pengadilan umum yang diterima oleh para tokoh yang dianggap menyalahi aturan. Beberapa kalangan masyarakat juga menganggap gerakan cancel culture sebagai bentuk sanksi sosial.

"Ada juga yang menyebut sebagai bentuk sabotase. Itu memang bagaimana sudut pandang kita melihatnya," ucapnya.

Sederhana dan Cepat 

Menurut Edwin, tindakan cancel culture di media sosial terjadi sangat sederhana dan cepat. Yakni berpatokan pada kesalahan tokoh atau perusahaan tersebut. Sehingga perubahan sentimen pada masyarakat langsung berubah dari yang positif menjadi negatif.

Menurut Edwin, kebanyakan tujuan dari cancel untuk menjatuhkan seseorang. Bahkan sering kali dibungkus dengan fakta yang perlu diketahui oleh semua pihak.

"Jadi kelihatannya itu pengungkapan sesuatu kadang-kadang itu bisa diatur. Kalau kita enggak seneng kita buat sebuah cerita dan jadilah cancel culture. Untuk men-drive cancel culture itu terjadi kepada orang orang tertentu, jadi itu by design. Kalau di media sosial itu yang bahaya sebetulnya," papar Edwin.

(Redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat