IDENESIA.CO - Kaltim akhirnya memiliki seorang pahlawan nasional.
Presiden Jokowi, memberikan gelar pahlawan nasional kepada Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai Kertanegara, pada November 2021 lalu.
Tidak ada yang menyangkal perjuangan Aji Muhammad Idris, berjuang melawan VOC.
Selain nama Sultan Kutai Kertanegara itu, satu lagi nama yang berpotensi menjadi pahlawan nasional.
Nama Muso bin Salim, atau dikenal dengan nama Muso Salim, seorang pejuang asal Muara Kaman, yang namanya sudah melegenda.
Nama Muso Salim, bergema semasa dengan grilya di Sangasanga.
Usai pertempuran Sangasanga, di akhir Januari 1947, para pejuang Sangasanga tersisa bergerak ke Kampung Jembayan, menemui pasukan pejuang yang dipimpin Asyikin dan Johan Massa'el.
Pihak Belanda mengetahui pergerakan itu.
Militer Belanda bergerak ke Loa Kulu dipimpin Kapten Marinus, menghalai pergerakan pejuang di Jembayan.
Para pejuang di Jembayan sudah meninggalkan tempat, mereka menyingkir ke Embalut, lalu meneruskan perjalanan ke Desa Sebulu.
Dari Sebulu, pasukan pejuang lalu bergerak kembali ke Muara Kaman.
Di Muara Kaman inilah, para pejuang dari Sangasanga bertemu Muso bin Salim.
Mereka bergabung dengan pasukan pimpinan Muso Salim, bergerak melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda.
Pasukan Muso Salim lalu bergerak menuju Muara Teweh hingga Berabai, tulis Muhammad Sarip, dalam bukunya berjudul: Dari Jahitan Layar Sampai Tepian Pandan (2018).
Muso Salim bersama pasukan menuju Cantung (Pantai Kota Baru), mereka bergabung dengan ALRI Divisi IV.
Di bawah pimpinan Hasan Basri, mereka melakukan pertempuran di sana.
Atas perjuangannya di Kalsel dan Kaltim, Muso Bin Salim, yang abadi menjadi nama salah satu jalan di Samarinda.
Pantaslah Muso Salim mendapatkan gelar Pahlawan Kemerdekaan, dari memoar Wahel Tantawy, berjudul Sejarah Perjuangan Rakjat Kaltim.
Kepemimpinan Muso Salim, terlihat saat pertempuran di Sampirang (Kalsel).
Ketika pasukan perjuangan di Kalsel terdesak KNIL, pucuk pimpinan secara fisik beralih ke Muso yang dengan sukses membawa pasukan selamat menembus kepungan musuh, bahkan dapat menyita sejumlah senjata musuh.
Namun sayang, setelah perjuangan yang memakan banyak pengorbanan harta, air mata, darah, dan nyawa itu, tidak begitu dihargai pemerintah.
Muso yang layak menyandang gelar Pahlawan Kemerdekaan dari tanah Kutai tersebut, mulai terlupakan seiring berlalunya zaman.
Berbagai penghargaan yang diberikan pemerintahan pusat pada era Sukarno, meskipun tidak terbantahkan sebagai bukti otentik perjuangannya, tetap dianggap belum layak.
Muso mendapat penghargaan berupa pangkat Letnan Dua (Letda) TNI AD, Surat Kehormatan dari Menteri Pertahanan RI Sultan Hamengkubuono IX, 2 Desember 1947.
Penghargaan Pahlawan dari Presiden RI Sukarno 5 Juni 1960, Satya Lancana Perang Kemerdekaan 1 dan 2 dari Menteri Pertahanan RI, Ir Djuanda, 5 Juni 1960. (Er Riyadi)