IDENESIA.CO - Benedict Richard O'Gorman Anderson (26 Agustus 1936 – 13 Desember 2015), sering dipanggil Ben Anderson, adalah seorang sejarawan dan pakar politik dunia. Ia juga seorang peneliti Indonesia terkemuka, pernah menulis esai "The Idea of Power in Javaneese Culture" untuk menerangkan bagaimana masyarakat Jawa tradisional memahami power atau kekuasaan.
Dialam tulisannya, Benedict Anderson membedakan konsepsi kekuasaan Jawa tradisional dengan konsepsi kekuasaan Eropa modern.
1. Dalam pandangan politik Jawa tradisional, kekuasaan itu konkret atau dipandang serupa energi tidak berwujud, misterius, dan Ilahiah yang menggerakan alam semesta, walau kekuasaan tidak terwujud dalam diri seorang manusia tetapi terwujud dalam kayu, api, awan, dan batu. Sedangkan, menurut Eropa modern kekuasaaan adalah konsep abstrak hasil interakasi sosial yang ditandai dengan adanya kepatuhan.
2. Sumber-sumber kekuasaan dalam politik jawa tradisional bersifat homogen artinya tipe kekuasaan setiap orang itu sama, yakni spiritual. Sedangkan padangan Eropa modern sumber kekuasaan bersifat heterogen, seperti kekayaan, status sosial, kepemilikan senjata, jabatan, dan sebagainya.
3. Kekuasaan dalam pandangan Jawa Tradisional jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap yang artinya pemegang kekuasaan bisa berganti, tapi jumlahnya konstan. Jika ada figur yang kekuasaannya bertambah, berarti ada orang lain yang kekuasaannya berkurang. Sedangkan dalam imajinasi Eropa modern akumulasi kekuasaan tida aka batas-batanya yang inheren atau tidak terbatas.
4. Kekuasaan dalam pandangan Jawa Tradisional tidak butuh legitimasi moral, yang artinya kekuasaan itu mutlak, dan tidak ada urusannya dengan baik maupun buruk, sedangkan kekuasaan dalam Eropa modern, segi moral kekuasaan itu bersifat ganda.
Konsepsi-konsepsi yang diutarakan Ben Anderson tersebut memiliki konsekuensi terhadap beberapa hal. Berbeda dengan tradisi Barat yang lebih menitikberatkan kepada bagaimana menggunakan kekuasaan itu, konsepsi kekuasaan Jawa tradisional lebih melihat bagaimana menghimpun kekuasaan. Ini dilakukan dengan praktik-praktik yoga dan bertapa dengan sangat keras, seperti tidak tidur, tidak melakukan hubungan seksual, berpuasa, dan berbagai praktik lainnya.
Hal tersebut ditujukan bukan untuk menyiksa diri namun semata-mata untuk memperoleh kekuasaan. Untuk memperbesar kekuasaan, penguasa juga harus mengumpulkan benda-benda ataupun orang yang dianggap mempunyai dan mengandung kekuasaan, seperti keris, tombak, kereta, atau manusia seperti orang kerdil, ahli nujum, dan berbagai manusia sakti lainnya.
Ben menjelaskan bahwa fokus raja jawa adalah mengumpulkan kekuasaan, bukan menggunakannya untuk, misalnya mengubah keadaan. Pengumpulan kekuasaan ini bisa dilihat dari bagaimana mereka melakukan berbagai ritus simbolik seperti bertapa, berpuasa, atau mengoleksi benda-benda keramat.
Kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang mesti diraih dan dipertahankan. Lebih jauh, kekuasaan harus terpusat dan tidak boleh terpencar. Misalnya, ketika Sukarno menyatukan 3 kekuatan, besar nasionalis, agamis, dan komunis menjadi Nasakom.
Menurut Ben, langkah politik ini adalah manifestasi dari politik raja Jawa yang ingin memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri.
Salah satu penggambaran Ben terhadap politik Jawa tradisional, yang dilihat dari Sukarno yang gemar flexing keberhasilannya ngumpulin kekuasaan. Corak ini diperkuat dengan kegandrungan mereka terhadap pertunjukkan wayang di istana dengan plot yang menunjukkan kekuatan politiknya. Ini bukan sekedar hiburan, melainkan upaya untuk "menyegarkan" kepatuhan penontonnya.
Ada pula konsep wahyu dalam kekuasaan Jawa, semacam cahaya ilahi yang turun ke pemimpin yang tepat, yaitu pemimpin yang dianggap pengikutnya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan genting. Ben mencontohkan seperti, Ken Angrok, Panembahan Senapati, Sukarno, dan Soeharto.
Konsepsi kekuasaan pada Jawa tradisional juga memiliki konsekuensi terhadap struktur proses sejarah. Jika menurut perspektif Barat modern, sejarah dipandang sebagai suatu runtutan peristiwa yang berjalan searah garis waktu namun dalam pandangan Jawa tradisional sejarah merupakan gerakan yang melingkar yang terjadi secara berulang-ulang dengan urutan historis: terpusat – terpancar – terpusat – terpancar keadaan ini akan terus berulang tanpa ada hentinya.
Adapun mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, pandangan tradisional memandang pentingnya kekuasaan yang terpusat. Keadaan ini diibaratkan dengan sorotan cahaya lampu yang semakin meredup secara tidak terputus-putus ketika semakin jauh sumber cahaya tersebut. Keadaan inilah yang menggambarkan tidak hanya struktur negara saja, melainkan pula hubungan antara pusat dan daerah. Hal inilah yang kemudian dapat menjelaskan mengenai penentangan Soekarno terhadap sistem parlementer dan federalisme sebab menurutnya dan sejalan dengan konsepsi tradisional, terpencar-pencarnya kekuasaan akan mengakibatkan penurunan kekuasaan sehingga kesejahteraan masyarakat dilihat dari sejauh mana kemampuan pusat untuk memusatkan kekuasaan.
Kondisi ini juga mempengaruhi antara hubungan penguasa dan rakyat, gusti dan kawulo, priyayi dan kaum tani. Pandangan Jawa tradisional tidak menganggap adanya perjanjian sosial (social contract) di mana ada kewajiban timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai berdasarkan perjanjian ini. Adapun yang menjadi logika dasar bagi hubungan penguasa dan bawahan adalah gagasan noblesse oblige (kebangsawanan harus sembada dan wajib mengabdi). Konsep tradisional lebih menekankan adanya kesadaran secara pribadi bagi seorang penguasa untuk bersikap baik terhadap bawahannya dan bukan dikarenakan konsekuensi sebuah perjanjian sosial.
Terkait dengan etika, pandangan Jawa tradisional melihat bahwa sikap yang harus dimiliki oleh para pejabat adalah sikap tanpa pamrih, yakni menahan diri terhadap pemuasan motif-motif pribadi dan juga bekerja keras demi kepentingan negara tanpa mengharapkan keuntungan pribadi. Berdasarkan konsep pamrih ini, dapat dipahami konsep pemikiran orang Jawa tradisional terhadap akumulasi kekayaan. Bagi kebanyakan orang Jawa tradisional, meskipun kekayaan berkorelasi dengan kekuasaan namun kekayaan bukanlah tujuan dari dicapainya kekuasaan itu. Masyarakat Jawa sangat menganggap rendah pemimpin-pemimpin yang hanya mengeruk keuntungan pribadi dan memperkaya diri dalam kekuasaan yang dimilikinya. Dalam tradisi Jawa jelas digariskan bahwa kekayaan sudah pasti mengikuti kekuasaan dan bukan kekuasaan yang mengikuti kekayaan.
Korelasi antara kepemimpinan dan etika pamrih dapat dilihat ketika jatuhnya Soekarno dari kursi kepresidenan. Isu yang paling mencolok yang digulirkan kala itu adalah isu pamrihnya presiden dalam bentuk korupsi yang dilakukannya dan juga penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Meski tidak ada perjanjian sosial antara penguasa dengan rakyat, menurut pandangan tradisioanal, penguasa harus berkelakuan baik. Jika tidak, kekuasaan akan surut atau lenyap. Jika hal ini terjadi maka akan hilanglah tatanan yang baik serta kelancaran dalam sistem sosial.
Secara umum tulisan Ben Anderson dapat dikatakan mampu menggambarkan dengan baik mengenai gagasan kekuasaan Jawa tradisional. Anderson juga dengan sangat baik menganalisis dan mengkorelasikan gagasan tersebut dengan fenomena kekinian, seperti alasan mengenai perilaku Soekarno yang berulangkali menyatakan memiliki garis keturunan langsung dengan penguasa-penguasa ternama di masa silam. Anderson melihatnya sebagai sebuah perilaku untuk mempertahankan kekuasaan berdasarkan tradisi Jawa.
(Redaksi)