IDENESIA.CO - Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan salah satu peristiwa paling dikenang semasa revolusi fisik Indonesia. Selain di Manado, peristiwa Merah Putih juga terjadi di kota minyak Sangsanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Peristiwa Merah Putih Sangasanga mencapai puncaknya pada 27 Januari 1947. Karena itu, peristiwa ini juga kerap disebut sebagai Peristiwa Merah Putih 27 Januari.
Setiap tahun pada 27 Januari, pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menggelar acara peringatan Peristiwa Merah Putih Sangasanga guna mengenang perjuangan rakyat Sangasanga melawan penjajah Belanda.
Pada 11 September 1945, tentara Australia sebagai perwakilan pasukuan Sekutu tiba di Sangasanga dengan tugas melucuti, menawan, dan memulangkan tentara Jepang serta menjaga ketertiban di daerah tersebut. Namun, kedatangan mereka ternyata disusupi dua orang perwira NICA, yang bertugas mengumpulkan tentara KNIL
Di Sangasanga, dibentuk Badan Penolong Perantau Djawa (BPPD), yang menggantikan organisasi pemuda sebelumnya bernama Ksatria.
Meski namanya memiliki unsur Jawa, anggota BPPD tidak hanya terdiri dari para perantau dari Jawa, tetapi juga semua orang dari Banjar, Maluku, Sulawesi, dan Ambon, yang ada di Sangasanga. Pada awalnya, BPPD dan tentara Sekutu bisa bekerja sama dengan baik dalam mengelola bantuan kebutuhan sehari-hari.
Bahkan BPPD diizinkan memakai lencana Merah Putih di baju dan mengibarkan bendera Merah Putih.
Pertempuran Kalimantan (1941-1942) Pada 17 Desember 1945, tentara Sekutu ditarik dan diganti oleh tentara NICA Belanda.
Hadirnya NICA menimbulkan kecurigaan rakyat dan suasana di Sangasanga pun berubah. Tentara NICA melarang pemakaian lencana Merah Putih, mengibarkan bendera Merah Putih, dan melakukan berbagai kegiatan.
Larangan itu membuat aktivitas BPPD yang dilakukan secara rahasia menjadi terganggu.
Pasalnya, sejak pasukan Sekutu masih di Sangasanga, BPPD diam-diam berlatih menggunakan senjata dan belajar strategi perang untuk berjaga-jaga. Puncaknya, Belanda melakukan pembersihan di Sangasanga dengan mengepung dan menangkap seluruh anggota BPPD pada 31 Desember 1945.
Sepanjang tahun 1946, tentara Belanda menyelidiki segala hal yang dianggap mencurigakan hingga menemukan dokumen tentang rencana perjuangan BPPD.
Semua barang bukti dan para tawanan diperiksa di Markas Militer Belanda. BPPD pun dibubarkan.
Setelah diperiksa, ada tawanan yang dibebaskan, ada pula yang dipindahkan ke penjara di Balikpapan. Mereka yang dipindahkan ke Balikpapan dibebaskan pada 29 Juli 1946 setelah membuat surat pernyataan yang isinya menyatakan tetap setia kepada Belanda.
Pernyataan itu tentu hanya janji palsu yang dibuat demi kebebasan dan dapat meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Meski pengawasan Belanda sangat ketat, masyarakat Sangasanga masih bisa membentuk organisasi perjuangan secara sembunyi-sembunyi.
Tokoh Peristiwa Merah Putih Sangasanga Setelah bebas dari penjara di Balikpapan, beberapa mantan pengurus BPPD kembali ke Sangasanga untuk merencanakan kembali perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Mereka adalah Soekasmo, Margono, Supardi, Basuki, dan Ahmandun, yang membentuk organisasi pengganti BPPD bernama Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI).
BPRI merupakan organisasi perjuangan bawah tanah untuk melawan kedudukan NICA di Sangasanga. Puncak Peristiwa Merah Putih Sangasanga
Setelah melewati tahap perencanaan, BPRI mulai melakukan tindakan sabotase dengan membakar penampungan minyak dan mencuri senjata dari tentara NICA.
Selanjutnya, BPRI berencana melakukan perlawanan terbuka pada 25 Desember 1946, kemudian pada 1 Januari 1947, dan beberapa hari setelahnya, tetapi selalu gagal karena banyaknya mata-mata NICA yang berkeliaran di Sangasanga.
Bahkan beberapa tokoh BPRI ada yang tertangkap dan dieksekusi tentara NICA yang telah mengetahui rahasia perjuangan BPRI.
Meski para tokoh BPRI menjadi buronan NICA, mereka tidak gentar untuk melakukan perlawanan. Dalam keadaan terdesak, para tokoh BPRI mengadakan pertemuan yang menyepakati dilakukannya perlawanan pada 27 Januari 1927
Pertemuan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh BPRI seperti Soekasmo, Habib Abd Muthalib, Sastromihardjo, Habibah, Budiono, Akoeb, dan Herman Runturambi.
Mulai 26 Januari dini hari, para tokoh BPRI bergerak untuk menangkap tokoh-tokoh NICA dan merebut tangsi Belanda. Setelah tangsi direbut, Soekasmo memerintahkan agar bendera Merah Putih dikirbarkan, yang dipimpin oleh Budiono.
Saat itu, Soekasmo memberikan amanat kepada semua pejuang, yang dikenal sebagai amanat Peristiwa Merah Putih Sangasanga.
Isi amanat tersebut adalah agar mereka tetap bersama-sama berjuang mempertahankan Kota Minyak Sangasanga dari kekuasaan Belanda dengan semboyan, "lebih baik mati daripada dijajah oleh Belanda".
Meski Sangasanga telah direbut pada 27 Januari dan bendera Merah Putih berhasil dikibarkan, kota minyak ini kembali direbut Belanda. Karena pertempuran yang tidak seimbang, Soekasmo memerintahkan para pejuang untuk mundur dan bersembunyi di hutan. Pada 30 Januari, para pejuang kembali melawan, meski harus jatuh banyak korban dan gagal mempertahankan Sangasanga dari Belanda.
(Redaksi)