Minggu, 7 Juli 2024

Asal-usul dan Sejarah

Membaca Jejak Tragedi Serangan Monster Sangatta, Buaya 8 Meter Itu Tewas Diberondong Tembakan di Sungai Kenyamukan

Selasa, 21 Desember 2021 21:20

Aktifitas nelayan di Sungai Kenyamukan, Kutai Timur. Membaca jejak tragedi serangan monster Sangatta, buaya 8 meter itu tewas diberondong tembakan aparat (Er Riyadi)

IDENESIA.COAwal Maret 1996, aliran Sungai Kenyamukan menunjukan rupa seperti biasa.

Aliran airnya tenang, namun menghanyutkan.

Kala itu, seorang warga bernama Hairani, perempuan berusia 35 tahun, melakukan aktivitasnya mencuci pakaian di pinggir Sungai Kenyamukan.

Ditemani sang anak, yang saat itu berusia 9 tahun, Hairani menyikat baju di pelataran kayu tepi Sungai Kenyamukan.

Suasana tenang berubah mencekam, kala selembar pakaian milik Hairani terjatuh ke air. 

Tanpa firasat, wanita itu turun ke air maksud hati mengambil pakaiannya yang jatuh.

Tiba-tiba, tanpa salam.

Terkaman buaya muara (Crocodylus Porosus) tidak bisa dihindari Hairani,

Buaya itu lalu menarik tubuh warga Sangatta hingga ke dasar Sungai Kenyamukan.

Sepekan dilakukan pencarian terhadap monster penerkam Hairani itu.

Sejumlah petugas kepolisian dikerahkan, juga beberapa pawang buaya.

Tepat tanggal 8 Maret 1996. Buaya muara itu kembali menunjukan dirinya.

Petugas yang telah bersiaga bersiap dengan senjatanya.

"Dorrrrr" buaya itu mati oleh berondongantragedi

timah panas polisi.

Monster Sangatta itu diketahui berjenis kelamin jantan. Ukurannya luar biasa.

Buaya itu ditaksir berusia 70 tahun, dengan panjang 6,8 meter dan bobot 850 kilogram.

Monster Sangatta itu kini telah diawetkan, berada di Museum Kayu Tuah Himba di Tenggarong, Kutai Kartanegara. 

Nah, pada Desember 2021, penulis Idenesia.co, mengunjungi Desa Sangatta Utara.

Tujuan penulis adalah Sungai Kenyamukan.

Di sungai inilah, tragedi paling mengerikan manusia diterkam buaya pernah terjadi puluhan tahun lalu.

Penulis mengunjungi permukiman di muara Sungai Kenyamukan, lokasi mengerikan 25 tahun lalu.

Kondisi cukup tenang kala penulis berada di sebuah kampung sisi kanan sungai yang bermuara di Selat Makassar itu.

Seperti permukiman nelayan lainnya, aktivitas warga khusyuk menyiapkan persiapan mengarungi laut untuk menampak ikan.

Sungai Kenyamukan sebagian besar adalah hutan bakau dan nipah.

Kondisi air tidak terlalu jernih.

Airnya payau, pertemuan antara sungai dan laut.

Dengan kondisi lingkungan seperti itu, menjadi habitat sempurna bagi buaya muara, golongan reptil yang terbesar di bumi.

"Sarangnya memang di sungai ini," ungkap Syafranuddin, warga yang tinggal tidak jauh dari perkampungan.

Kejadian yang menimpa Ibu Hairani terekam jelas dalam dirinya.

Kalau itu, Syafranuddin telah bekerja di Pemkab Kutim.

Menerima kabar adanya warga diterkam buaya, dirinya langsung menuju lokasi kejadian dan membantu proses pencarian.

"Rame dulu orang bantu nangkap buaya," lanjutnya.

25 tahun berselang, warga masih mengingat kejadian mengerikan itu.

Sebuah harapan, semoga kejadian serupa tidak kembali terulang. (Er Riyadi)

Tag berita:
IDEhabitat