Minggu, 6 Oktober 2024

Sejarah Indonesia

Menyibak Kisah Pejuang Kaltim Saat Robek Bendera Belanda jadi Merah Putih, Tengok Kengerian Pertempuran Sangasanga 1947

Belanda Bantai Pejuang Indonesia & KNIL yang Dianggap Ekstrimis

Senin, 31 Januari 2022 15:25

Monumen Perjuangan Sangasanga, Kutai Kartanegara, Kaltim. Kisah pejuang Kalimantan saat robek bendera Belanda jadi Merah Putih, tengok kengerian pertemuran Sangasanga tahun 1947. (Er Riyadi)

IDENESIA.CO - Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara telah sejak zaman lawas dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi yang masyur.

Jauh sebelum sumur minyak ditemukan, Sangasanga telah ditemukan namanya pada catatan abad ke-13.

Tercatat rapi di kitab Salasilah Kutai, ada sebuah daerah bernama Sanga-Sangaan di daerah wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara. (Tata Ruang Kota Kolonial di Sanga Sanga, 2010, jurnal, hlm 60).

Penemuan sumber minyak bumi ditemukan pada tahun 1897 di Sangasanga.

Penemuan sumber minyak itu, setelah pada tahun 1888, Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Sulaiman mengikuti pertemuan Jacobus Hubertus Menten, perwakilan pihak Pemerintah Hindia Belanda.

Hasil pertemuan itu, Hindia Belanda berhak meneliti, mengeksplorasi, dan mengeksploitasi minyak bumi dan batu bara di Kaltim (Batu Bara Indonesia, 2014, hlm 37). 

Salah satu penghasil minyak bumi, Sangasanga menjadi seksi untuk direbutkan, terbukti pada periode Perang Dunia II, pihak Belanda berjuang keras mempertahankan Sangasanga dari pihak Jepang.

Kisah heroik para pejuang Indonesia, turut bergema di langit Sangasanga.

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945, pihak Belanda masih berada di Nusantara.

Mereka tidak angkat kaki.

Melalui Agresi Militer I, belanda berhasil menguasai sumber daya alam Indonesia, termasuk sumur-sumur minyak di Sangasanga.

Perjuang Indonesia di Kaltim tidak tinggal diam, pertempuran terjadi pada akhir Januari 1947.

Aksi heroik para pejuang itu dikenal dengan "Peristiwa Merah Putih", yang dirayakan tiap tanggal 27 Januari.

Walaupun pertempuran masih berlangsung hingga bulan-bulan selanjutnya.

Muhammad Sarip, Sejarahwan Kaltim, melalui bukunya berjudul: Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, menulis runut pertempuran Sangasanga.

Dalam tulisan Sarip, sejak penemuan sumber minyak pada 1897 di Sanga-sanga dan berevolusi menjadi kota industri.

Belanda pun banyak membangun dermaga dan bangsal-bangsal di kawasan selatan wilayah Kesultanan Kutai, yang masih banyak berdiri hingga sekarang.

Pada tahun 1939, Sangasanga memiliki 7 dermaga, 613 sumur minyak, dengan produksi 70 ribu ton minyak per bulan.

Januari 1947, Barisan Pejuang Republik Indonesia (BPRI) berencana mengambil alih ladang-ladang minyak Belanda, di daerah yang kini masuk pesisir Kukar itu.

BPRI dipimpin Soeskasmo, Asmuransyah, Fathamsyah, H.Abdullah Tomas, dan lain-lain.

Tentara Indonesia yang berada di dalam Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL), yang di pimpin oleh Boediojo alias Boediono, sebelumnya berpihak ke Belanda, mengubah haluan mendukung kemerdekaan Indonesia.

Boediono dan pasukannya bergabung dengan BPRI.

KNIL pimpinan Boediono tetap bertugas di militer Belanda sebagai taktik gerakan hingga saat pecahnya pertempuran nanti.

Pertengahan Januari 1947, sekutu BPRI bertambah, dengan bergabungnya griliawan Balikpapan, dipimpin mantan polisi Belanda, Herman Runturambi.

Herman diminta bersembunyi di suatu ladang di tengah hutan yang juga sebagai tempat persembunyiannya, kemudian seorang prajurit bernama Sutjipto yang menyimpan dokumen rahasia perjuangan.

Aktivitas Herman diketahui oleh mata-mata Belanda dan persembunyian Sutjipto akhirnya terbongkar, dan Sutjipto dihabisi serta dokumen yang dipegangnya jatuh ketangan Belanda. (Tulis Sarip dalam bukunya).

Dengan bocornya dokumen rahasia itu, pejuang Indonesia mesti melakukan serangan secepat mungkin.

Segera. Pada 26 Januari 1947 mereka nilai melakukan serangan ke perusahaan vital Belanda BPM (Battaafshe Petroleum Mastscappij) Sangasanga.

Serangan itu dilakukan oleh Soekasmo dari BPRI dan Boediono dari kelompok tentara KNIL yang berpihak kepada para pejuang rakyat.

Dalam waktu singkat Tangsi Belanda berhasil direbut pejuang RI, pada 27 Januari subuh.

Sekira pukul 06.00 Wiya, bendera Belanda di kantor Douane Muara Sangasanga diturunkan.

Bagian kain biru dirobek lalu kain Merah-Putih yang tersisa dikibarkan kembali.

Kemenangan tanggal 27 Januari inilah yang terus diperingati hingga saat ini.

Kemenangan belum lama diraih, tanggal 28 Januari 1947, pihak Belanda melakukan serangan balasan.

Pertempuran kembali pecah dan berlangsung hingga malam hari.

Keesokan harinya (29 Januari) Kapal Fregat Zeearend berlabuh di Sanga-sanga dengan berbendera Merah-Putih.

Para pejuang bersorak mengira kapal itu berisi pasukan bantuan dari Balikpapan.

Sayangnya mereka keliru. Itu adalah taktik Belanda mengelabui para pejuang.

Banyak dari rakyat Sanga-sanga yang gugur akibat tembakan dari Kapal Fregat Zeearend.

Kepal pemburu Semeru disertai dua landing craft bekal milik Jepang mendaratkan pasukan di Muara Sangaasanga.

Pertempuran sengit berlangsung sekitar delapan jam. Sebanyak 350 tentara Belanda dengan senjata baru melawan sekitar 200 pejuang dengan senjata minim.

Tanggal 29 Januari 1947 sore hari. Pertempuran berakhir, Sangasanga kembali jatuh ke genggaman Belanda.

Para pejuang tersisa dipukul mundur ke hutan. Mereka berpencar.

Sangasanga mencekam hingga Februari 1947. Pembantaian terjadi oleh pihak KNIL kepada rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis dan mendukung gerakan ekstrimis.

Kala itu, para pejuang Indonesia disebut ekstrimis oleh pihak Belanda.

Boediono eks KNIL yang pindah haluan mendukung para pejuang Indonesia berhasil ditangkap.

Boediono dieksekusi mati pada 17 Maret 1947.

Setelah Boediono gugur, Sultan Aji Muhammd Parikesit bertandang ke Sangasanga, bertemu pihak Belanda.

Tidak diketahui pembahasan apa yang dilakukan Sultan Kutai dengan Belanda.

Namun usai kunjungan itu seluruh tawanan diangkut ke kapal Belibis, ke Samarinda dan Balikpapan untuk diadili.

Para pejuang Sangasanga tersisa bergerak ke Kampung Jembayan, menemui pasukan pejuang yang dipimpin Asyikin dan Johan Massa'el.

Pihak Belanda mengetahui pergerakan itu.

Militer Belanda bergerak ke Loa Kulu dipimpin Kapten Marinus, menghalai pergerakan pejuang di Jembayan.

Para pejuang di Jembayan sudah meninggalkan tempat, mereka menyingkir ke Embalut, lalu meneruskan perjalanan ke Desa Sebulu.

Dari Sebulu, pasukan pejuang lalu bergerak kembali ke Muara Kaman.

Di Muara Kaman, pejuang Sangasanga dan Jembayan bergabung dengan pasukan pimpinan Muso Salim, lalu kembali berjuang melawan Belanda secara bergerilya. (Er Riyadi)

Tag berita:
IDEhabitat