IDENESIA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak dua permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) yang menuntut pembatasan masa jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) maksimal lima tahun dan disamakan dengan periode jabatan Presiden.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pleno terbuka di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025), untuk perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025 dan 147/PUU-XXIII/2025, yang digelar bersamaan oleh sembilan hakim konstitusi.
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan yang menegaskan bahwa permohonan para pemohon dalam kedua perkara itu tidak beralasan menurut hukum.
“Amar putusan, mengadili dan Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan keputusan di ruang sidang pleno.
Polri Harus Tetap Independen
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa mengaitkan masa jabatan Kapolri dengan masa jabatan Presiden justru berpotensi menggeser posisi Polri dari alat negara menjadi alat politik. Sebab, pembatasan yang diusulkan pemohon akan memosisikan Kapolri seolah menjadi bagian dari kabinet pemerintahan yang tunduk pada masa jabatan Presiden.
“Padahal, secara konstitusional, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyatakan Polri adalah alat negara. Sebagai alat negara, Polri harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan, termasuk di atas kepentingan Presiden,” tulis pertimbangan MK.
Mahkamah menilai, jika posisi Kapolri disebut “setingkat menteri”, maka akan muncul implikasi politik yang besar karena Presiden memiliki wewenang langsung atas posisi tersebut sebagai bagian dari kabinet. Hal ini dinilai berpotensi menurunkan independensi Polri dan mengikis netralitas institusi yang seharusnya berdiri di luar struktur kekuasaan politik.
Masa Jabatan Tidak Periodik
Hakim konstitusi juga menegaskan bahwa jabatan Kapolri merupakan jabatan karier profesional, bukan jabatan politik yang memiliki masa jabatan periodik seperti halnya anggota kabinet atau pejabat politik lainnya.
“Jabatan Kapolri memiliki batas masa jabatan, namun tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden,” tegas Mahkamah.
Menurut MK, pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri tetap menjadi hak prerogatif Presiden berdasarkan evaluasi kinerja dan kebutuhan organisasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Polri. Dengan demikian, Presiden tetap dapat mengganti Kapolri kapan saja, selama disertai alasan sah dan mendapat persetujuan DPR.
Dengan pertimbangan itu, Mahkamah menilai permintaan pemohon untuk menetapkan masa jabatan Kapolri maksimal lima tahun tidak memiliki dasar konstitusional dan tidak sejalan dengan prinsip profesionalitas Polri yang diatur dalam UUD 1945.
Isi Petitum Pemohon Ditolak
Dalam permohonannya, para pemohon meminta agar MK menafsirkan ulang Pasal 11 ayat (2) UU Polri. Mereka mengusulkan agar Presiden wajib mengajukan pemberhentian Kapolri kepada DPR ketika masa jabatan Presiden berakhir atau setelah Kapolri menjabat lima tahun.
Pemohon juga meminta agar MK memerintahkan Presiden Prabowo Subianto untuk segera memberhentikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan mengusulkan calon pengganti kepada DPR.
Namun, Mahkamah menyatakan permintaan tersebut tidak berdasar karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih kekuasaan dan menyalahi prinsip profesionalitas jabatan dalam sistem kepolisian.
“Mengaitkan masa jabatan Kapolri dengan masa jabatan Presiden sama dengan menjadikan Kapolri sebagai pejabat politik. Padahal, Polri harus tetap berdiri di atas semua kepentingan politik,” tulis MK dalam putusannya.
MK kemudian menyatakan secara tegas bahwa peran Polri tidak boleh ditarik dalam orbit politik kekuasaan, melainkan tetap berfungsi sebagai penegak hukum, pelindung, dan pengayom
Putusan Final dan Mengikat
Sebagai lembaga penjaga konstitusi, MK menegaskan bahwa seluruh putusan bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian, Presiden Prabowo Subianto tetap memiliki kewenangan untuk menilai dan memutuskan kapan Kapolri dapat diganti, tanpa harus menunggu periode pemerintahan berakhir.
Putusan ini sekaligus menolak seluruh petitum pemohon dalam dua perkara tersebut:
-
Perkara 19/PUU-XXIII/2025: Menolak seluruh permohonan pemohon.
-
Perkara 147/PUU-XXIII/2025: Menyatakan salah satu pemohon tidak dapat diterima dan menolak permohonan pemohon lainnya untuk seluruhnya.
Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UU Polri tetap berlaku sebagaimana adanya, yaitu bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, tanpa batas waktu periodik.
Berikut ini petitum permohonan yang ditolak MK:
Perkara 19/PUU-XXIII/2025
1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah, antara lain:
a. berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet;
b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
c. permintaan sendiri;
d. memasuki usia pensiun;
e. berhalangan tetap;
f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Menyatakan penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi
“Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
4. Memerintahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mengusulkan pemberhentian Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan selanjutkan mengusulkan calon Kapolri yang baru kepada DPR
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara RI.
Perkara 147/PUU-XXIII/2025
1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah;
a. Berakhirnya masa jabatan Kapolri selama 5 (lima) Tahun.
b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
c. permintaan sendiri;
d. memasuki usia pensiun;
e. berhalangan tetap
f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Menyatakan penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi
“Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah; masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penegasan Akhir
Putusan ini menjadi pijakan penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama untuk memastikan agar Polri tidak terseret dalam orbit politik Presiden dan tetap menjalankan peran profesionalnya sebagai alat negara di bidang keamanan dan penegakan hukum.
Dengan berakhirnya sidang ini, MK kembali menegaskan prinsip dasar konstitusi: “Polri bukan bagian dari kabinet, melainkan penjaga keamanan yang berdiri di atas semua golongan.”
(Redaksi)
