IDENESIA.CO - Salah satu cendekiawan Muslim berdarah Yahudi, Muhammad Asad atau yang memiliki nama lahir Leopold Weiss.
Ia lahir pada 1900 di Lviv, sekarang jadi salah satu kota di Ukraina, dan berasal dari keluarga Yahudi.
Ayah dia, Akiva, merupakan pengacara dan anak seorang Rabbi. Sementara itu, ibu Asad, Malka anak dari bankir kaya, demikian dikutip situs yang mengupas soal budaya, Culture.
Nama Asad juga dikenal publik karena buku yang berjudul The Road to Mecca (Jalan Menuju Mekkah). Buku ini bahkan disebut-sebut membantu banyak orang mengenal Islam lebih dekat.
Salah satu mualaf sekaligus diplomat Jerman, Murad Hofmann, sampai-sampai mengatakan tak ada buku lain yang bisa membuat orang tertarik masuk Islam.
"Mungkin, tak ada buku lain selain Al Quran yang membuat lebih banyak orang masuk Islam," kata Hoffman, seperti dikutip TRT World.
Tak hanya itu, pujian terhadap buku Road to Mecca juga muncul dari eks Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan.
Khan mengatakan buku tersebut memotivasi dirinya menapaki jalan religiositas.
Rekam jejak Asad
Asad menempuh pendidikan di Universitas Wina untuk mempelajari sejarah seni pada 1920. Ia kerap menghabiskan hari dengan membaca buku-buku filsafat.
Di malam harinya, ia bergabung dengan klub-klub sastra. Dalam pertemuan itu, mereka kerap membedah penemuan Sigmund Freud di bidang psikoanalisis
Sebagaimana anak muda lain di usia 20, Asad tengah mencari jati diri usai Perang Dunia I melanda Eropa pada 1914 dan 1918.
Di PD I, Jerman mengalami kekalahan. Imbasnya penderitaan dan krisis moral muncul. Namun, tahun-tahun itu merupakan periode yang dinamis di Eropa.
"Orang tak dibatasi oleh dogma lama dan mereka mencari sumber spiritual baru," kata sejarawan Israel yang menulis biografi Asad, Martin Kramer.
Itu salah satu cara untuk memahami Asad. Ia tidak muncul dari tatanan politik dan budaya yang berpuas diri. Dia muncul dari tatanan, yang baru saja dihabisi dengan keruntuhan total," imbuhnya.
Tak fokus dengan pendidikan, Asad lalu mengejar karier sebagai penulis. Namun, sang ayah menentang keputusan itu.
Asad lalu melakukan perjalanan ke Berlin dan mencoba-coba dunia seni dengan menulis naskah film.
Namun, ia tak lama tinggal di Berlin. Asad lalu melakukan perjalanan ke Palestina usai diundang pamannya, Dorian, pada 1922.
Di tahun itu, Palestina tengah bergejolak. Ribuan Yahudi dari Rusia dan wilayah lain bermigrasi ke negara ini.
Namun, Asad memiliki pandangan tersendiri soal Yahudi. Ia menilai Suku Badui Arab mirip dengan karakter yang ia pelajari di Perjanjian Lama ketimbang Yahudi Eropa.
Menurut dia, Badui Arab penuh dengan kejujuran dan kesederhanaan
Pembela Arab Palestina
Cerita dan artikel Assad tertuang dalam buku pertama dia "The Unromantic Orient" yang dirilis Frankfurter Zeitur.
Beberapa tahun kemudian, Assad ingin menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Inggris. Ia juga merilis buku lain berjudul Islam at the Crossroad pada 1934.
Di beberapa kasus, Asad sempat menentang eks Presiden Israel Chaim Weizmann. Ia meminta Weizmann menjelaskan mengapa Yahudi bisa mengklaim lebih banyak hak-hak daripada Arab Palestina yang lebih lama hidup di kawasan itu, demikian dikutip TRT World.
Kedekatan Assad dengan Palestina tak hanya sampai di situ. Ia pernah memiliki kawan berkebangsaan Palestina yang tewas karena menentang Zionis
Beberapa tahun kemudian, ia berjanji bakal terus membela Palestina saat Israel mencoba mengambil alih Yerusalem.
Israel ingin merebut Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibu kota.
Assad lalu menulis artikel soal bagaimana Islam memandang Yerusalem sebagai Kota Suci untuk semua agama, bukan hanya untuk Yahudi.
Anak pengacara ternama itu kemudian melakukan perjalan ke Yordania, Mesir, dan Arab Saudi.
Ia kemudian singgah di Saudi dan menikah dengan Elsa. Mereka lalu melakukan perjalanan ke Mekkah bersama.
Setelahnya, Elsa terkena beberapa penyakit tropis dan meninggal sembilan hari setelah ziarah.
(Redaksi)