IDENESIA.CO – Setelah lebih dari enam minggu kebuntuan politik yang melumpuhkan sebagian besar lembaga pemerintahan federal, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menandatangani rancangan undang-undang (RUU) untuk mengakhiri shutdown atau penutupan pemerintahan.
Langkah tersebut sekaligus menandai berakhirnya shutdown terpanjang dalam sejarah AS, yang berlangsung selama 43 hari berturut-turut, menyebabkan jutaan warga dan ratusan ribu pegawai federal terdampak langsung.
Penandatanganan RUU dilakukan Trump di Ruang Oval Gedung Putih, Rabu malam waktu setempat (12/11/2025), disaksikan oleh sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik.
Dengan nada tegas, Trump menuding Partai Demokrat sebagai biang keladi kebuntuan yang membuat pemerintahan lumpuh lebih dari satu bulan.
“Hari ini kita memberikan pesan yang jelas bahwa kita tidak akan pernah menyerah pada pemerasan,” ujar Trump, disambut tepuk tangan anggota parlemen yang hadir.
Trump menyebut proses negosiasi dengan oposisi berlangsung alot dan melelahkan, terutama dalam hal kesepakatan anggaran. Namun, menurutnya, kompromi ini adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan roda pemerintahan ke jalur normal.
Penandatanganan itu dilakukan beberapa jam setelah Kongres AS menyetujui RUU anggaran baru dalam dua tahap Senat terlebih dahulu menyetujui rancangan tersebut, disusul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mayoritas dikontrol Partai Republik.
Shutdown selama 43 hari ini memecahkan rekor terlama dalam sejarah Amerika Serikat, melampaui penutupan pemerintahan tahun 2019 yang berlangsung selama 35 hari pada masa kepemimpinan Trump sebelumnya.
Penutupan ini terjadi akibat kebuntuan anggaran di Kongres, terutama mengenai alokasi dana untuk beberapa program prioritas pemerintahan, termasuk pembiayaan militer, urusan veteran, dan program sosial domestik.
Akibatnya, lebih dari 670.000 pegawai federal terpaksa dirumahkan tanpa gaji (furlough), sementara jumlah serupa tetap bekerja tanpa kompensasi termasuk lebih dari 60.000 petugas pengatur lalu lintas udara (ATC), petugas keamanan bandara, dan staf lembaga pelayanan publik lainnya.
Kondisi ini memicu gelombang protes nasional serta gangguan besar terhadap berbagai layanan publik, mulai dari keterlambatan penerbangan, tertundanya layanan visa, hingga berhentinya sebagian proyek pertanian dan infrastruktur di berbagai negara bagian.
RUU yang diteken Trump berisi pengaturan pendanaan sementara untuk sejumlah lembaga federal, termasuk Departemen Pertahanan, Departemen Pertanian, Departemen Urusan Veteran, dan Kongres AS, yang akan berlaku hingga musim gugur mendatang.
Selain itu, RUU ini memastikan seluruh pemerintahan federal dapat beroperasi normal hingga akhir Januari 2026.
Bagi para pegawai yang sempat terdampak, undang-undang ini juga menjamin pembayaran gaji tertunggak serta pemulihan status kepegawaian bagi mereka yang sempat diberhentikan selama masa shutdown.
“Sekitar 670.000 pegawai akan kembali bekerja mulai pekan ini, dan mereka yang tetap bekerja tanpa bayaran akan menerima gaji mereka dalam waktu dekat,” kata seorang pejabat Gedung Putih seperti dikutip AFP.
Langkah ini juga akan memulihkan stabilitas layanan transportasi udara, yang sempat terganggu karena kekurangan tenaga ATC dan staf keamanan di bandara-bandara besar seperti New York, Los Angeles, dan Chicago.
Meski menjadi titik terang bagi pemerintahan federal, keputusan Trump ini menimbulkan reaksi beragam di Washington.
Ketua DPR dari Partai Republik, Mike Johnson, menilai penandatanganan RUU ini sebagai bukti kemenangan atas “tekanan politik yang tidak sehat” dari kubu oposisi.
“Mereka tahu ini menyakitkan, tapi tetap melakukannya. Semua tindakan mereka sia-sia. Itu salah dan kejam,” ujar Johnson dalam pidato menjelang voting di Kongres.
Namun dari kubu Partai Demokrat, muncul kekecewaan mendalam. Sejumlah anggota Demokrat menilai, keputusan ini merupakan bentuk kompromi yang terlalu jauh, karena RUU baru tersebut tidak memberikan ruang cukup bagi usulan mereka terkait anggaran kesejahteraan dan perlindungan sosial.
Bagi banyak pengamat politik, kesepakatan ini dianggap sebagai gencatan senjata politik semata bukan solusi jangka panjang atas ketegangan fiskal dan ideologis yang telah lama membelah Washington.
Dengan berakhirnya shutdown, fokus pemerintahan kini beralih pada pemulihan ekonomi dan psikologis pegawai federal serta masyarakat yang terdampak.
Shutdown selama 43 hari diperkirakan telah menggerus miliaran dolar dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat, memperlambat layanan publik, dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Sejumlah analis menilai, meskipun pemerintahan kembali beroperasi, tantangan politik Trump belum berakhir. Kebijakan anggaran ke depan masih rentan terhadap tarik-ulur kepentingan antara Partai Republik dan Demokrat menjelang pemilihan presiden 2028.
(Redaksi)

