IDENESIA.CO - Pada tahun 1994 Piala Dunia diselenggarakan di Amerika Serikat, banyak berita beredar negara tersebut kurang menyukai sepak bola. Awalnya banyak yang ragu, piala dunia akan bisa diramaikan oleh penonton sebagaimana halnya saat diselenggarakan di negara-negara pecandu sepak bola. Kenyataannya, jumlah penonton piala dunia di AS adalah yang tertinggi dalam sejarah yaitu sebesar 3,6 juta orang, atau rata-rata per pertandingan 69 ribu orang.
Piala Dunia 1994 mencatatkan nama Brasil sebagai juara dengan mengalahkan Italia melalui adu penalti 3-2, setelah bermain imbang 0-0. Namun yang tak bisa dilupakan, piala dunia kali ini adalah kesempatan terakhir bagi sang bintang legendaris, Diego Armando Maradona, memperkuat Argentina. Ia sudah mengikuti tiga piala dunia sebelumnya 1982, 1986, 1990.
Sebagai pemain jenius, cara Maradona mengakhiri karir jauh dari kata manis. Ia gagal lolos dari tes doping. Ada kandungan ephedrine dalam darahnya. Maradona tamat, seperti halnya Argentina yang tak lolos fase penyisihan Grup D karena hanya berada di urutan tiga klasemen. Tim Tango menang atas Nigeria 2-1 dan Yunani 4-0, namun disapu oleh Bulgaria 0-2.
Selain berakhirnya karir Maradona dengan menyedihkan, Piala Dunia 1994 akan diingat sebagai turnamen yang memakan korban nyawa. Andrés Escobar tewas ditembak di luar sebuah bar di Medellin, Kolombia, sepuluh hari setelah timnas negaranya tersisih di piala dunia. Pemain bertahan itu dianggap bertanggungjawab atas kekalahan Kolombia 1-2 dari Amerika Serikat, karena mencetak satu gol bunuh diri.
Ada dugaan Escobar dibunuh oleh kartel narkoba. Sindikat judi dan kartel narkoba banyak mempengaruhi tim ini. Pelatih Francisco Maturana berkali-kali menerima ancaman akan dibunuh selama pemilihan pemain untuk tim nasional. Kematian Escobar membangkitkan gelombang duka di Kolombia.
Namun sepak bola kembali ke titik puncaknya saat sebuah tim multiras dan multietnis seperti Prancis menjuarai Piala Dunia pada 1998. Semula kubu utrasnasionalis mengecam timnas yang dilatih Aimé Jacquet itu ‘tidak cukup Prancis’. Kecaman itu dikarenakan beragamnya latar belakang pemain Prancis. Tengoklah Zinedine Zidane, sang jenderal lapangan tengah, yang berlatarbelakang Afrika. Lalu masih ada Lilian Thuram yang berkulit hitam. Aroma keberagaman makin kental jika melihat latar belakang seluruh pemain Prancis.
Kaum ultranasionalis menjadikan timnas Prancis sebagai alat sasaran propaganda politik. Ini bukan kebetulan, mengingat Prancis adalah tuan rumah piala dunia saat itu. Namun Jacquet jalan terus. Sepak bola seharusnya tetap berada di jalurnya dan milik semua orang. Ia akan membuktikan bahwa pilihannya tak salah.
Brasil menjadi favorit kuat juara. Mereka diperkuat bintang yang tengah bersinar benderang dan akhirnya dinobatkan menjadi pemain terbaik selama turnamen, Ronaldo. Namun dalam penyisihan grup, perjalanan Tim Samba tak semulus Prancis. Jika Prancis mencetak tiga kemenangan di fase grup, Brasil justru terjegal 1-2 melawan Norwegia.