Minggu, 7 Juli 2024

Olahraga Dunia

Akhir Maradona dan Korea Cahaya Asia dalam Historis Piala Dunia 1994-2002

Rabu, 23 November 2022 17:0

MARADONA - Diego Armando Maradona, Foto: transfermarkt

IDENESIA.CO - Pada tahun 1994 Piala Dunia diselenggarakan di Amerika Serikat, banyak berita beredar negara tersebut kurang menyukai sepak bola. Awalnya banyak yang ragu, piala dunia akan bisa diramaikan oleh penonton sebagaimana halnya saat diselenggarakan di negara-negara pecandu sepak bola. Kenyataannya, jumlah penonton piala dunia di AS adalah yang tertinggi dalam sejarah yaitu sebesar 3,6 juta orang, atau rata-rata per pertandingan 69 ribu orang.

Piala Dunia 1994 mencatatkan nama Brasil sebagai juara dengan mengalahkan Italia melalui adu penalti 3-2, setelah bermain imbang 0-0. Namun yang tak bisa dilupakan, piala dunia kali ini adalah kesempatan terakhir bagi sang bintang legendaris, Diego Armando Maradona, memperkuat Argentina. Ia sudah mengikuti tiga piala dunia sebelumnya 1982, 1986, 1990.

Sebagai pemain jenius, cara Maradona mengakhiri karir jauh dari kata manis. Ia gagal lolos dari tes doping. Ada kandungan ephedrine dalam darahnya. Maradona tamat, seperti halnya Argentina yang tak lolos fase penyisihan Grup D karena hanya berada di urutan tiga klasemen. Tim Tango menang atas Nigeria 2-1 dan Yunani 4-0, namun disapu oleh Bulgaria 0-2.

Selain berakhirnya karir Maradona dengan menyedihkan, Piala Dunia 1994 akan diingat sebagai turnamen yang memakan korban nyawa. Andrés Escobar tewas ditembak di luar sebuah bar di Medellin, Kolombia, sepuluh hari setelah timnas negaranya tersisih di piala dunia. Pemain bertahan itu dianggap bertanggungjawab atas kekalahan Kolombia 1-2 dari Amerika Serikat, karena mencetak satu gol bunuh diri.

Ada dugaan Escobar dibunuh oleh kartel narkoba. Sindikat judi dan kartel narkoba banyak mempengaruhi tim ini. Pelatih Francisco Maturana berkali-kali menerima ancaman akan dibunuh selama pemilihan pemain untuk tim nasional. Kematian Escobar membangkitkan gelombang duka di Kolombia.

Namun sepak bola kembali ke titik puncaknya saat sebuah tim multiras dan multietnis seperti Prancis menjuarai Piala Dunia pada 1998. Semula kubu utrasnasionalis mengecam timnas yang dilatih Aimé Jacquet itu ‘tidak cukup Prancis’. Kecaman itu dikarenakan beragamnya latar belakang pemain Prancis. Tengoklah Zinedine Zidane, sang jenderal lapangan tengah, yang berlatarbelakang Afrika. Lalu masih ada Lilian Thuram yang berkulit hitam. Aroma keberagaman makin kental jika melihat latar belakang seluruh pemain Prancis.

Kaum ultranasionalis menjadikan timnas Prancis sebagai alat sasaran propaganda politik. Ini bukan kebetulan, mengingat Prancis adalah tuan rumah piala dunia saat itu. Namun Jacquet jalan terus. Sepak bola seharusnya tetap berada di jalurnya dan milik semua orang. Ia akan membuktikan bahwa pilihannya tak salah.

Brasil menjadi favorit kuat juara. Mereka diperkuat bintang yang tengah bersinar benderang dan akhirnya dinobatkan menjadi pemain terbaik selama turnamen, Ronaldo. Namun dalam penyisihan grup, perjalanan Tim Samba tak semulus Prancis. Jika Prancis mencetak tiga kemenangan di fase grup, Brasil justru terjegal 1-2 melawan Norwegia.

Dalam partai final, semua menduga bakal terjadi pertarungan ketat. Namun ternyata sebaliknya. Aksi Zidane tak bisa diantisipasi Brasil. Dua gol yang dicetaknya membawa Prancis menang 3-0. Maka untuk pertama kalinya generasi emas Prancis mengangkat piala dunia.

Tahun 2002, Jepang dan Korea Selatan menjadi tuan rumah bersama. Di atas lapangan hijau, Korea Selatan membuktikan bahwa negara Asia bisa bersaing dengan negara-negara dari Eropa dan Amerika Selatan, dengan menembus empat besar terbaik.

Di bawah asuhan pelatih asal Belanda, Guus Hiddink, Prajurit Merah Korsel menampilkan permainan spartan dan tak kenal menyerah hingga akhir. Sejumlah tim besar menjadi korban keganasan Ahn Jung-Hwan dan kawan-kawan. Dalam fase Grup D, Korsel menghantam Polandia 2-0, menahan imbang Amerika Serikat 1-1, dan mengalahkan Portugal 1-0.

Keajaiban Korsel ini berlanjut di babak-babak selanjutnya. Di babak 16 besar, Korsel menggulung Italia 2-1. Unggul lebih dulu melalui Christian Vieri pada menit 18, Italia tak bisa berleha-leha sepanjang pertandingan. Para pemain Korsel berupaya menggedor jantung pertahanan Italia, dan dua menit sebelum pertandingan berakhir Seol Ki-Hyeon mencetak gol balasan. Ahn Jung-Hwan menjadi pahlawan setelah mencetak gol di menit 117.

Kekalahan Italia bikin banyak orang sakit hati. Presiden Perugia, Luciano Gaucci, mengatakan tak akan mau menerima Ahn lagi bermain di klubnya. Bagi warga Italia, kekalahan dari Korsel adalah kekalahan tak adil. Mereka menilai wasit Byron Moreno asal Ekuador telah berlaku tak adil dengan mengusir Francesco Totti dari lapangan. Bermain dengan 10 pemain membuat Italia terdesak dan akhirnya kalah.

Kontroversi kejayaan Korsel terulang di perempat final, saat menghadapi Spanyol. Wasit menganulir dua gol Spanyol, dan akhirnya Korsel mengakhiri pertandingan dengan kemenangan 5-4 melalui adu penalti. Selama waktu normal dan tambahan waktu, kedua tim bermain imbang 0-0.

Korsel merepotkan Jerman di semifinal. Namun gol Michael Ballack mengakhiri mimpi Asia untuk terbang tinggi hingga final. Brasil akhirnya merebut piala dunia dengan mengalahkan Jerman 2-0. Korsel cukup puas di peringkat 4, setelah dikalahkan Turki 2-3 dalam perebutan tempat ketiga. (Redaksi)

Tag berita:
Berita terkait
IDEhabitat