IDENESIA.CO - Menelusuri perkembangan pendidikan sekolah di Samarinda, era kolonial Belanda.
Kita kembali pada awal tahun 1900-an di Samarinda.
Sebelum tahun 1900, tidak ada sarana pendidikan formal di Kota Tepian. Pun itu cuma sekolah tingkat dasar.
Catatan Muhammad Sarip, pegiat sejarah di Kaltim, berjudul: Sejarah Pendidikan di Samarinda Era Kolonial Belanda (1900-1942).
Sarip menulis mulanya sekolah formal hanya diselenggarakan di Pulau Jawa.
Pelajaran membaca dan tulis untuk kalangan penduduk pribumi di Samarinda, baru dikenal kala Pemerintah Hindia Belanda menerapkan Politik Etis.
Perlu diketahui, Politik Etis merupakan politik balas budi dari Kerajaan Belanda, di tanah jajahan.
Tahun 1907 Belanda mendirikan sekolah rendah untuk pribumi.
Sekolah itu diberi nama Volksschool alias sekolah desa.
Volksschool didirikan pertama kali di Pulau Jawa, lalu merembet ke Samarinda.
Selanjutnya pada tahun 1926, beberapa tokoh lokal seperti Maharadja Sayuti Lubis (tokoh Syarikat Islam dan pemimpin redaksi sebuah majalah pertama di Samarinda), Anang Atjil Kasuma Wira Negara (tokoh pers, pensiunan jaksa), Kamaluddin (pengurus Syarikat Islam Samarinda), dan M. Sidik (pengurus Muhammadiyah Samarinda) mendesak Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Gouvernement HIS (sekolah pribumi negeri) di Oost Borneo.
Tuntutan itu diterima Pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1928, Hollandsch Inlandshe School (HIS) didirikan di Tokopandjang Straat, Kampung Sungai Pinang, Samarinda.
Ada terdapat beberapa versi terkait keberadaan lokasi HIS di Samarinda.
Sumber lain menyebut Hollandsch Inlandsche School (HIS) didirikan di lokasi yang saat ini adalah Jalan Gajah Mada, Samarinda.
HIS sekolah tingkat dasar dengan durasi sekolah 7 tahun, diselenggarakan Belanda sebagai tujuan politik etis.
HIS dimanfaatkan untuk memenuhi tenaga kepegawaian pada kantor administrasi Belanda.
Bahasa pengantar (Voertaal) yang digunakan adalah bahasa Belanda, sehingga orang Samarinda tempo dulu pandai berbahasa Belanda.
Guru-guru HIS dari kalangan pribumi di Samarinda ada yang bersikap radikal atau terlibat pergerakan nasional.
R. Abdul Mohni misalnya, tercatat sebagai satu di antara kepala sekolah HIS di Samarinda yang menanamkanrasa nasionalisme kepada para muridnya.
Setelah Indonesia merdeka, HIS berubah menjadi Sekolah Rendah Negeri(SRN), yang kemudian sekarang di lokasi tersebut berdiri SDN (Sekolah Dasar Negeri) 006 Jalan Imam Bonjol. (Er Riyadi)