IDENESIA.CO - Praktik korupsi di Indonesia tak akan ada habisnya.
Baru-baru ini kepala daerah Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Gafur Masud alias AGM.
Mati satu tumbuh seribu, begitulah gambaran praktik korupsi di Indonesia.
Bupati PPU, AGM tersebut masuk daftar hitam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjerat korupsi di Kalimantan Timur.
Ya, AGM merupakan kepala daerah termuda di Indonesia yang memimpin kabupaten di Kaltim yang jadi lokasi ibu kota negara (IKN) baru.
Bersama 10 orang lainnya kini AGM diamankan KPK untuk diproses lebih lanjut.
Namun, bila menelisik lebih dalam praktik korupsi sudah terjadi bahkan saat Indonesia masih merupakan kerajaan Nusantara.
Mari menguak akar sejarah panjang korupsi di Indonesia, sudah ada sejak masa kerajaan Nusantara.
Mari mengenal Mangilala Drwya Haji, petugas pajak abad ke-9.
Namun, sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro, menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf.
Kelompok petugas pajak yang disebut mangilala drwya haji ini disebut dalam prasasti awal abad ke-9 pada tahun 741 Caka atau 819 Masehi dalam buku Peradaban Jawa karya Supratikno Raharjo.
Sejarawan Onghokham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong juga menyoal petani yang sering menjadi sasaran penyelewengan para mangilala drwya haji.
Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa.
Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya 20 persen yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda).
Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.
Ironi lainnya adalah semasa penjajahan, sejarawan Universitas Paramadina, Hendri F Isnaeni mengatakan, ketika kelompok oposisi dan nasionalis Syarikat Islam (SI) pecah menjadi SI dan SI Merah yang kelak menjadi Partai Komunis Indonesia, terjadi saling tuding korupsi.
Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, menceritakan, salah satu teori genealogi korupsi Indonesia modern berasal dari masa pendudukan militer fasis Jepang.
Didi, mengutip sejarawan National University of Singapore, Syed Hussein Alatas, mengklaim kekuasaan Jepang yang militeristik mempekerjakan aparatur lokal yang berkemampuan rendah dan serakah.
Akibatnya, korupsi, pasar gelap, dan pelbagai penyimpangan terjadi secara marak meski jika ketahuan akan dihukum keras pihak Jepang.
Akhirnya mereka dan sistem yang sudah rusak itu turut berkuasa pada era Republik Indonesia pasca 1945.
VOC Ajari Masyarakat Korupsi
Teori mengenai genealogi korupsi di Kepulauan Nusantara memang beragam.
Versi paling populer adalah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia Belanda) mengajari masyarakat untuk korupsi di segala bidang.
Bahkan, ada ejekan yang menyebut VOC, perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi)