IDENESIA.CO - Penyu menjadi hewan yang mendapat perlindungan ketat di Berau.
Berberapa daerah konservasi dibentuk, khususnya di Kepulauan Derawan dan sekitarnya.
Penulis berkesempatan menikmati suasana konservasi penyu di Pulau Sangalaki, Berau.
Perjalanan yang luar biasa bagi penulis, melihat satwa menawan ini bertelur di malam hari, hingga melepaskan hatchling (tukik), anak penyu ke lautan lepas.
Mari kita menyusuri Pulau Sangalaki, sebuah pulau di gugusan Kepulauan Derawan, yang dikhususkan menjadi rumah berbagai jenis penyu di Berau.
Taman wisata alam Pulau Sangalaki, memiliki luas luas 280 hektar.
Kontur alamnya dikelilingi garis pantai dan terumbu karang.
Di bagian dalam pulau terdapat hutan dengan berbagai tumbuhan khas daerah kepualauan.
Pulau Sangalaki dijadikan tempat konservasi bagi penyu, sesuai SK Mentan No.604 tahun 1982.
Adalah sebuah kesempatan yang luar biasa bagi penulis, bisa berkeliling Pulau Sangalaki.
Menikmati pantai berpasir putih, hingga melepaskan tukik ke lautan lepas.
Setelah puas menikmati alamnya yang luar biasa, selepas waktu Salat Magrib, penulis dan beberapa pengunjung lain berkesempatan melepaskan puluhan tukik ke laut.
Ini menjadi momen yang luar biasa bagi penulis.
Melihat makhluk mungil itu berjuang menantang laut, melewati mara bahaya lalu kembali ke pulau ini untuk bertelur.
Sungguh, mata saya berkaca-kaca saat tukik anak penyu seukuran ibu jari bergerak di tangan.
Dengan hati-hati, makhluk mungkil itu dibiarkan berada di bibir pantai.
Membiarkannya melewati rintangan awal. Menuju air laut. Dia harus berjuang.
Baru berada di air luar para tukik sudah dihantam terpaan ombak, beberapa berhasil menuju bagian laut dalam.
Ada pula yang kembali terhempas ke pantai.
Sekali lagi, tukik itu harus berjuang.
Usai melepaskan tukik ke laut, penulis berkesempatan berbincang dengan Hadransyah, Pengelola Konservasi Pesut di Pulau Sangalaki.
Dari penuturannya, dari 100 telur penyu, 80 persen dari telur itu berhasil menetas menjadi tukik.
Dalam sehari, ada 20 ekor penyu yang bertelur di Pulau Sangalaki, kisaran waktunya sekitar pukul 10 malam hingga jelang subuh.
Perlu waktu 60 hari bagi telur penyu yang tertanam di pasir untuk menetas menjadi tukik.
Tukik sekitar umur 30 tahun, bertelur antara 100 sampai 200 telur tiap naik ke pulau.
"Perhari kisaran 20 ekor penyu bertelur setiap harinya," Hadran bercerita sambil mencucipi makan malam.
Saat telur menetas, para tukik tidak langsung dilepaskan ke laut. Para tukik terlebih dahulu diobservasi ke kolam penampungan.
Setelah sekian hari, tukik siap dilepaskan mengarungi lautan.
Sedih rasanya mendengar, dari ratusan tukik yang dilepas ke laut, pada akhirnya hanya 30 persen dari jumlah itu yang bertahan hingga menjadi indukan selanjutnya.
"Bertahan di laut 30 persen yang jadi indukan, yang lain mati. Karena berbagai faktor, dimangsa predator salah satunya," lanjutnya.
Lima orang petugas berjaga di area konservasi Pulau Sangalaki.
Pada malam hari, agenda selanjutnya melihat bagaimana penyu bertelur di Pulau Sangalaki.
Menyusuri hutan sekira pukul 9 malam.
Kami berburu penyu yang naik ke darat. Tantangannya dengan penerangan minim.
Jika bertemu sorotan cahaya, indukan penyu dipastikan pergi mencari tempat menanam telur lain.
Padahal proses pembuatan lubang telur saja memakan waktu hingga 1 jam.
Sabar menunggu, akhirnya kami menemukan juga satu ekor penyu sisik berupaya membuat lubang.
Lampu senter dan lampu handphone dimatikan.
Di tengah gulap gulita, kami mendekati indukan penyu itu.
Satu jam menunggu, akhirnya telur pertama jatuh. Bahagia sekali rasanya.
Secara bergantian telur-telur itu berjatuhan, jumlahnya puluhan mungkin sampai 100an telur.
Luar biasa.
Sayangnya, lokasi konservasi Pulau Sangalaki turut tak lepas dari tangan usil manusia.
Sangat disayangkan, di area pantai tetap saja ditemui sampah-sampah hasil tangan manuisa.
Sedih rasanya.
Pulau Sangalaki sebagai area konservasi penyu, adalah sebuah harga mati terbebas dari sampah.
Tuhan bantu kami menjaga kelestarian alam ini. (Er Riyadi)