Minggu, 6 Oktober 2024

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Petani Sahang di Kukar Menyerah Dikepung Tambang, Bangkit Lewat Hidroponik Selada & Buah

Kenang Produksi Ratusan Ton Per Bulan

Rabu, 15 Desember 2021 20:32

Petani sahang di Kutai Kartanegara menyerah dikepung tambang, coba bangkit lewat hidroponik. Kenang produksi ratusan ton per bulan. (Er Riyadi)

IDENESIA.COPagi buta, sekira pukul 06.00 Wita. Pria usia kisaran 40 tahun bernama Abdul Gushai siap-siap melakukan aktivitas.

Ia bukan seorang pekerja kantoran, apalagi ASN.

Abdul Gushai hanya petani Desa Bukit Merdeka, Samboja.

Mengenakan baju kerja kaus dan topi caping jadi kostum andalannya, ia menggantungkan penghidupannya.

Ya, Gushai dan sang ayah adalah petani sahang yang merelakan kebunnya hancur akibat konsesi tambang.

Sedih diamininya, namun bangkit adalah keharusan, batin Gushai.

Beberapa tahun terakhir, Gushai dan orang tuanya menggarap lahan seluas 835 meter persegi.

Tidak luas memang, tapi baginya dan keluarga, petak tanah itu cukup.

Tidak sembarang lahan pertanian, Gushai dan si ayah, menerapkan teknologi hidroponik untuk pertaniannya.

Bukan perjuangan mudah memang, karena pertanian yang ia beri nama Green House, ini jadi yang pertama di desanya.

Berdamai dengan masa lalu, Gushai berbenah.

Memanfaatkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan.

Perjuangan Gushai berbuah manis, tiap bulannya ia bisa meraup keuntungan bersih hingga puluhan juta rupiah.

"Omset sekitar Rp25-30 juta per bulan. Kalau modal sekitar Rp7-10 juta," ungkap Gushai ditemui di Green House miliknya.

Urusan belanja modal, pria bertubuh kurus itu berkisah, pengeluaran modal per bulannya paling besar Rp10 juta.

Modal segitu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bibit, nutrisi air, dan biaya listrik.

Gushai bersyukur Green House miliknya telah tumbuh berkembang.

Lahan 835 meter persegi yang ia kelola, 80 persen dipakai untuk menanam Selada Air.

Lalu 10 persen lainnya menanam jenis sawi-sawian, dan 10 persen sisanya menanam anggur.

Selada Air memang terkenal dengan waktu penanaman yang singkat.

Usai pemindahan media tanam ke pipa-pipa hidroponik, dibutuhkan waktu 30 hari untuk masuk masa panen.

"Tergantung permintaan pasar, ada yang minta umur tanaman berkisar 30-35 hari setelah tanam," lanjutnya lagi.

Tidak hanya Selada Air, berbagai komoditas akan ia tambah, termasuk buah-buahan.

"Ke depan akan ada teknologi hidroponik buah yang kami terapkan, seperti Melon. Sistem hidroponik semua nanti," ungkapnya.

Perjuangan menapak pelan mulai menunjukan hasilnya.

Upayanya sebagai pahlawan pangan mungkin tak butuh standing ovation.

Tapi nilai-nilai yang ia tanamkan, jadi bahan untuk kita, menghargai sebuah perjuangan.


Green House selada.

Sahang Mati Dikepung Konsesi Tambang

Puluhan tahun lalu, Desa Bukit Merdeka, Samboja, jadi salah satu penghasil "sahang" atau lada terbesar di Kukar.

Produksinya tidak main-main, puluhan hingga ratusan ton per bulan.

Nyaris seluruh warga di Desa Bukit Merdeka, menjadi petani sahang.

"Dulu mayoritas nanam Sahang (Lada)," begitu kira-kira pernyataan Burhanuddin, Camat Samboja.

Semua berjalan baik-baik saja.

Hingga, pada kisaran belasan tahun lalu, konsesi tambang masuk, dan mengubah segalanya.

Desa Bukit Merdeka masuk dalam luasan konsesi perusahaan tambang batu bara.

Dampaknya jelas, konsesi mengganggu kualitas tanah.

Kabar buruknya desa yang sebagaian luasannya masuk ke Tahura Bukit Soeharto ini tak lagi bisa mengandalkan tanaman sahang.

Sang camat enggan menyebut nama perusahaan tambangnya, entah ada apa.

"Gak bisa lagi ditanami sahang. Beruntung sekarang petani mulai memanfaatkan teknologi hidroponik," Burhanuddin. (Er Riyadi)

Tag berita:
IDEhabitat