IDENESIA.CO - Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, atau Jokowi, baru-baru ini diumumkan sebagai salah satu dari lima finalis untuk penghargaan "Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024" yang digelar oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Ini menandai nominasi kontroversial yang melibatkan tokoh-tokoh besar dari berbagai negara. Selain Jokowi, empat nama lain yang masuk dalam daftar tersebut adalah Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha India Gautam Adani.
OCCRP, yang dikenal sebagai organisasi jurnalisme investigasi global, menyatakan bahwa nominasi ini datang dari kontribusi berbagai pihak, termasuk pembaca, jurnalis, juri "Person of the Year", serta pihak-pihak lain dalam jaringan mereka. Dalam keterangan resminya, OCCRP mengungkapkan bahwa pemilihan tokoh-tokoh ini terkait dengan fenomena korupsi yang dianggap menjadi bagian integral dari usaha merebut kekuasaan negara, yang pada akhirnya menciptakan pemerintahan otokratis.
Korupsi, Kekuasaan, dan Pelanggaran HAM
Drew Sullivan, penerbit OCCRP, menambahkan bahwa korupsi tidak hanya merusak integritas pemerintahan, tetapi juga mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM), manipulasi pemilu, serta penjarahan sumber daya alam. "Pemerintah yang korup ini melanggar HAM, memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam, dan pada akhirnya menciptakan konflik akibat ketidakstabilan yang melekat pada diri mereka. Satu-satunya masa depan mereka adalah keruntuhan yang kejam atau revolusi berdarah," ungkap Sullivan dalam pernyataannya.
Sebagai sebuah lembaga yang fokus pada pelaporan kejahatan terorganisasi dan korupsi, OCCRP menekankan bahwa tokoh-tokoh yang dinominasikan tahun ini memiliki peran dalam memperburuk krisis global yang diakibatkan oleh ketidakadilan ekonomi dan politik. Hal ini menggugah perhatian dunia, karena di balik sorotan publik terhadap capaian-capaian politik dan ekonomi mereka, ada dugaan praktik-praktik yang merugikan masyarakat luas.
Profil OCCRP dan Peran Kritis dalam Jurnalisme Investigasi
OCCRP didirikan pada tahun 2007 oleh jurnalis investigasi Drew Sullivan dan Paul Radu. Organisasi ini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam jurnalisme investigasi kolaboratif. Dengan cabang di enam benua dan banyak kemitraan dengan media lain, OCCRP berkomitmen untuk mengekspos kejahatan dan korupsi di seluruh dunia. Melalui visi mereka untuk memperkuat jurnalisme investigasi, OCCRP telah membawa perhatian pada isu-isu penting yang jarang dibahas oleh organisasi media mainstream.
Dalam menjalankan misinya, OCCRP mengedepankan empat pilar utama: investigasi mendalam, pembangunan infrastruktur jurnalisme, inovasi teknologi, dan dampak global melalui kemitraan yang lebih luas. Salah satu alat inovatif yang dikembangkan oleh OCCRP adalah Aleph, sebuah platform data yang membantu jurnalis dalam menyelidiki kasus-kasus besar yang melibatkan kejahatan terorganisasi dan korupsi.
Dengan dampak yang terus meluas, OCCRP berupaya menjadikan jurnalisme investigasi sebagai kekuatan yang lebih besar dalam memberantas kejahatan dan korupsi yang merusak stabilitas dan keadilan sosial. Salah satu program penting mereka adalah Global Anti-Corruption Consortium (GACC), yang berfokus pada kolaborasi global untuk memerangi korupsi.
Tanggapan Publik dan Kontroversi
Penunjukan Jokowi dalam nominasi tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 ini tentu memicu kontroversi di Indonesia, mengingat popularitasnya sebagai seorang pemimpin yang berhasil membawa Indonesia pada pencapaian-pencapaian ekonomi. Meski demikian, label tersebut mempertegas pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, serta mengingatkan kita akan tantangan besar yang dihadapi oleh banyak negara dalam memberantas korupsi di level tertinggi.
Nominasi ini menjadi salah satu sorotan besar dalam dunia jurnalisme investigasi, memperlihatkan betapa dalamnya akar korupsi yang sering kali melibatkan kekuasaan negara dan elit politik. Seiring dengan berjalannya waktu, publik menanti apakah proses lebih lanjut akan menghasilkan perubahan yang signifikan atau justru mengungkap sisi gelap lainnya dari pemerintahan yang berkuasa
(Redaksi)