Jumat, 22 November 2024

Legenda Putri Mandalika tidak Terima Pinangan Lamaran Pangeran Pilih Ubah Diri Jadi Cacing

Sabtu, 25 Maret 2023 11:51

ILUSTRASI - Putri Mandalika. / Foto: Exsterteinment

IDENESIA.CO -  Cerita Putri Mandalika merupakan salah satu legenda yang berasal dari Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Legenda Putri Mandalika terkait dengan tradisi menangkap cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.

Legenda Putri Mandalika Putri Mandalika lebih dikenal dengan sebutan Mandalike.

Ia merupakan putri yang berasal dari salah satu kerajaan di Pulau Lombok, yang bernama Kerajaan Tonjang Beru.

Raja Kerajaan Tojang Beru memerintahkan wilayah dengan adil dan makmur.

Putri Mandalika dikenal sebagai putri yang paling cantik, kecantikannya dikenal hingga ke pelosok negeri. Putri Mandalika tidak hanya cantik melainkan tutur katanya lembut dan bahasanya sopan. Ia juga senang menolong.

Banyak pangeran yang ingin melamarnya. Raja menyerahkan keputusan pada putri. Demi tanggung jawabnya, putri bertapa untuk meminta petunjuk.

Setelah bertapa, putri mengundang seluruh pangeran yang ingin melamarnya untuk berkumpul pada tanggal 20 bulan 10 pada penanggalan Sasak.

Para pengeran diminta berkumpul di Pantai Seger, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pantai Kuta, Lombok, pada pagi buta sebelum adzan Subuh berkumandang.

Pada hari yang ditentukan para pangeran berkumpul. Saat matahari berada di ufuk timur, puteri bersama raja dan ratu serta pengawal datang menemui mereka.

Putri Mandalika terlihat cantik karena menggunakan bahan sutra. Penampilan putri membuat para pangeran makin terpikat

Kemudian, Putri Mandalika naik ke atas Bukit Seger ditemani pengawal. Dari atas bukit, putri menyampaikan pesan pada semua yang hadir di Pantai Seger. Ia berencana manerima semua pinangan pelamar.

Putri mengambil keputusan tersebut supaya ketentraman dan kedamaian pulau tidak rusak karena persaingan.

Sebab, kalau ia menerima pinangan salah satu orang saja maka perselisihan akan terjadi. Pengumuman tersebut membuat peserta terheran-heran.

Selanjutnya, putri menjatuhkan diri ke laut dan hanyut ditelan ombak.

Melihat kejadian itu, para peserta berusaha mencari putri, namun putri tidak ditemukan.

Setelahnya, muncul binatang-binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak.

Binatang tersebut menyerupai cacing yang amat panjang.

Masyarakat setempat menyebutnya nyale.

Perbuatan putri sangat dikenang masyarakat Lombok.

Oleh karena itu dibuat Upacara Nyale atau Bau Nyale, upacara dilakukan pada Februari hingga Maret, setiap tahun.

Tradisi Bau Nyale di Lombok Dalam pelaksanaan Festival Bau Nyale, masyarakat Suku Sasak (Majelis Sasak Lombok) menggunakan perhitungan Rowot.

Penanggalan Kalender Rowot telah menjadi penentu puncak Bau Nyale sejak dari dulu.

Penanggalan Rowot ini dilatarbelakangi dengan kisah Putri Mandalika.

Dalam kisah tersebut, Putri yang terjun ke laut malah diangkat ke langit menjadi rasi bintang Rowot.

Perhitungan Rowot pada Suku Sasak, yaitu sistem penanggalan yang memperhitungkan pergerakan bulan, bintang (Pleades), dan matahari.

Bau Nyale terdiri dari dua kata, yaitu Bau yang artinya menangkap dan Nyale adalah cacing laut sejenis filumannelida.

Tradisi Bau Nyale adalah tradisi turun temurun masyarakat Lombok Tengah yang telah berusai ratusan tahun. 

Berdasarkan Babad Lombok yang dipercayai masyarakat setempat, tradisi ini telah dilakukan kurang lebih sejak sebelum abad ke-16.

Dalam perhitungan tradisional Sasak, tradisi berlangsung setiap tanggal 20 bulan 10 atau sekitar Februari yang bertempat di Pantai Seger, Kuta, Lombok Tengah.

Tata Cara Tradisi Bau Nyale Prosesi Bau Nyale diawali dengan sangkep atau pertemuan para tokoh untuk menentukan hari baik (tanggal 20 bulan 10 kalender Sasak).

Penentuan tanggal untuk mengetahui waktu nyale keluar.

 Proses berikutnya dilanjutkan dengan mepaosan, yaitu pembacaan lontar yang dilakukan tokoh adat sehari sebelum pelaksanaan tradisi.

Mepaosan dilakuan di bangunan tradisional tiang empat yang disebut Bale Saka Pat.

Pembacaan lontar dilakukan dengan tembang pupuh atau nyanyian tradisional, dengan urutan Pupuh Smarandana, Pupuh Sinom, Pupuh Maskumandang, dan Pupuh Ginada.

Proses tradisi Bau Nyale menggunakan berbagai perlengkapan, yaitu daun sirih, kapur, dua buah gunungan yang berisi jajan tradisional khas Sasak, kembang setaman dengan sembilan jenis bunga, serta buah-buahan tradisional.

Upacara digelar pada dinihari sebelum masyarakat turun ke laut untuk menangkap nyale.

Upacara dilakukan para tokoh adat. Upacara dinamakan Nede Rahayu Ayuning Jagad.

Prosesi dilakukan dengan cara para tetua adat berkumpul dalam posisi melingkar dan ditengah-tengahnya diletakkan jajanan dalam bentuk gunungan.

(Redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat