Minggu, 24 November 2024

Sosok Inspiratif

Membaca Soe Hok Gie, Sang Pengkritik Soekarno dan Perjalanan Terakhir Menuju Puncak Gunung Semeru

Mati di Ketinggian 3676 mdpl, 16 Desember 1969

Kamis, 16 Desember 2021 17:25

Monumen Soe Hok Gie. Membaca Soe Hok Gie, Sang Pengkritik Soekarno dan perjalanan terakhir menuju puncak Mahameru 16 Desember 1969. (Dok. Mapala UI)

IDENESIA.CO - Muda, berani dan berbahaya begitulah sekelumit gambaran sosok Soe Hok Gie.

Aktivis terbaik yang hidup di era Orde Lama hingga transisi masa Orde Baru.

Ya, Soe Hok Gie dikenal sebagai Sang Pengkritik Soekarno, yang kala itu memimpin bangsa Indonesia pasca kemerdekaan.

Tulisan dan aksi Soe Hok Gie kerap membuat panas dingin penguasa yang duduk di singgasana kekuasaan.

Bahkan Soe Hok Gie disebut-sebut sebagai aktivis yang jadi tokoh kunci terbentuknya aliansi mahasiswa dan ABRI pada masa lalu.

Apalagi kalau bukan menggulingkan Orde Lama, tujuannya kala itu.

Inilah kisah Soe Hok Gie, Sang Pengkritik Soekarno dan perjalanan terakhirnya menuju puncak Mahameru 16 Desember 1969.


Memoriam Soe Hok Gie semasa hidup. (Dok Mapala UI)

Mengutip Harian Kompas, 5 Juni 1983, Gie telah menulis catatan sejak berusia 15 tahun.

Ia mencatat hal-hal penting dan menarik dari karya-karya sekelas Spengler, Shakespeare, Andre Gide, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.

Pria yang mengenyam pendidikannya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra tahun 1962 ini banyak melontarkan ide-ide kritisnya ketika terjadi pergolakan politik pada 1966.

Pada saat itu, Gie ikut serta dengan mahasiswa lain untuk turun ke jalan dalam aksi Tritura.

Ia pun disebut sebagai tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.

Berbeda dari 13 mahasiswa yang diangkat menjadi anggota parlemen pada tahun-tahun pertama pesta kemenangan Orde Baru, Gie justru menolak tawaran tersebut.

Ia tetap memilih sebagai unsur moral force, yakni dengan cara kembali ke kampus untuk menggalang kekuatan alternatif sejati.

Gie sering mendengar cerita tentang oknum-oknum yang menampar rakyat biasa pada masa Orde Baru.

Oleh karena itulah, Gie terus bersuara agar rakyat tidak menyerah dan apatis terhadap pemerintahan.

Tak segan-segan, Gie pun seringkali menyebut nama seseorang atau pelaku yang terlibat.

Rektor UI sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1983-1985, Nugroho Notosusanto menyebut bahwa Gie adalah sosok yang mengerikan karena ia maju lurus dengan prinsip-prisipnya dan seringkali bentrok karena dianggap tidak taktis.

Hal itu sebagaimana dikemukakannya di Harian Kompas, 26 Juni 1983.

Mengutip Harian Kompas, 5 Juli 2970, Gie ditetapkan sebagai pemenang Hadiah Kehormatan Zakse.

Penetapan Gie sebagai peraih hadiah kehormatan dilihat dari karya-karya Gie yang dipublikasikan di media massa pada 1967-1970, serta pengabdiannya pada kehidupan kemahasiswaan, bangsa, dan negara.

Perjalanan Terakhir ke Atap Pulau Jawa: Mahameru

Hari ini 51 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 16 Desember 1969, seorang mahasiswa dan aktivis Indonesia di era pemerintah Soekarno dan Soeharto, Soe Hok Gie meninggal dunia di kawasan puncak Gunung Semeru (3.676 mdpl), Jawa Timur.

Soe meninggal di gunung tertinggi Pulau Jawa karena menghirup gas beracun, beberapa jam sebelum genap berusia 27 tahun.

Dikutip dari Kompas.com (22/9/2019), Soe Hok Gie berangkat menunju Gunung Semeru pada 12 Desember 1969.

Bersama temannya, Aristides Katoppo, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, dan dua anak didik Herman Idhan Dhanvantari Lubis serta Freddy Lodewijk Lasut, Hok Gie berangkat dari Stasiun Gambir pukul 07.00 ke Stasiun Gubeng Surabaya.

Pendakian kali ini istimewa bagi Hok Gie, lantaran pada 17 Desember ia akan merayakan ulang tahun ke-27.

Tim berbekal buku terbitan Belanda tahun 1930 tentang panduan naik semeru.

Mereka menggunakan jalur yang tak umum.

Jika biasanya jalur yang dipakai penduduk dengan menggunakan Desa Ranupane dengan jalur landai, tim mendaki melalui Kali Amprong mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek, sampai turun ke arah Oro Oro Ombo.

Perjalanan pun dilanjutkan. Sampai di Arcopodo, mereka membentangkan ponco (jas hujan dari militer) untuk jadi tempat perlindungan, meninggalkan tas dan tenda.

Mereka membawa minuman untuk bekal menuju puncak.

Rombongan dibagi menjadi dua kelompok.

Aristides, Hok Gie, Rudy Badil, Maman, Wiwiek, dan Freddy.

Sedangkan Herman bersama Idhan.

Sampai di Puncak Mahameru jelang sore, tenaga mereka sudah habis.

Hok Gie menunggu Herman yang tertinggal di belakang.

Tiba-tiba rekan satu lagi Maman, mulai meracau.

Akhirnya Aristides dan Freddy bahu membahu membawa Maman kembali ke shelter.

Herman dan Idhan akhirnya tiba di Puncak Mahameru.

Sesampainya di sana, Hok Gie sedang dalam kondisi duduk dan kemudian Idham ikut duduk, tetapi Herman tetap berdiri.

Karena duduk itu, menurut Herman, Hok Gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat dari oksigen.

Herman bercerita kondisi Hok Gie sudah sangat lemas.

"Tahu-tahu dia enggak ngomong, menggelepar," jelas Herman.

Evakuasi jenazah Gie dan Idhan dilakukan dengan proses yang terbilang panjang.

Pada 24 Desember, jenazah keduanya tiba di rumah masing-masing, kemudian disemayamkan di Fakultas Sastra UI Rawamangun.

Melansir Kompas.com (17/12/2020), Gie, aktivis yang lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 ini dikenal lantang melawan rezim awal Indonesia pasca-kemerdekaan. (redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat