Minggu, 6 Oktober 2024

Asal-usul dan Sejarah

Menelusuri Sejarah Tambang Batu Bara Era Kolonial di Samarinda, Jadi Cikal Bakal Pertambangan di Kaltim

Ditemukan Inggris Pertama Kali

Senin, 3 Januari 2022 16:55

Ilustrasi - Menelusuri sejarah tambang batu bara era kolonial di Samarinda, jadi cikal bakal pertambangan di Kaltim. Ditemukan pedagang Inggris pertama kali. (Andre/redaksi idenesia.co)

IDENESIA.CO - Galian batu bara telah menjadi primadona di Kalimantan Timur. Rayuan emas hitam ini bahkan telah melegenda ke negeri luar nusantara.

Perjalanan panjang dilalui pertambangan batu bara di Bumi Mulawarman, bermula dari zaman kolonial Belanda hingga tumbuh subur sejak era tahun 90-an.

Pertambangan tertua di Kaltim bermula pada tahun 1845.

Samarinda menjadi titik pertama ditemukannya emas hitam itu oleh para pedagang Inggris, di bawah perusahaan milik George Peacock (G.P.) King.

Ita Syamtasiyah Ahyat, Pengajar Sejarah UI dalam bukunya berjudul Kesultanan Kutai 1825—1910, menyinggung pertambangan tertua di Kaltim.

“Mereka di Samarinda bukan saja berdagang tetapi juga mengadakan penyelidikan tentang keadaan tanah di sekitar Sungai Mahakam, sehingga mereka menemukan tempat-tempat yang mengandung lapisan batubara di sana,” tulis Ita Syamtasiyah Ahyat, dalam bukunya.

Tapi di lokasi tersebar di Samarinda kota ini diketahui memiliki batu bara berkualitas buruk.

Pencarian dilanjutkan ke tempat lain.

Antara tahun 1845 dan 1846, batu bara kembali ditemukan di sekitaran Gunung Segara (Palaran).

Warga Samarinda saat ini mengenal Gunung Segara sebagai Gunung Lonceng atau Gunung RCTI di Samarinda Seberang.

Kali ini, orang-orang G.P. King menemukan batu bara berkualitas bagus.

Tidak hanya di kawasan Gunung Segara, G.P. King juga mebemukan lapisan batu bara berkualitas baik di sepanjang sempadan Sungai Mahakam, wilayah bukit Palaran saat ini.

Dalam galian pertama yang dilakukan G.P. King, mereka memperoleh 800 ton batu bara.

Atas temuan menggiurkan itu, buru-buru pihak G.P. King mengajukan izin penggalian lanjutan dan perdagangan batu bara.

Tapi menurut Ita Syamtasiyah, kala itu permintaan G.P. King ditolak mentah-mentah oleh pemerintah kolonial. Penolakan pihak Belanda tertuang dalam Besluit (keputusan) pemerintah kolonial No. 45, 24 Oktober 1850.

“Besluit berisi tentang larangan memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang berharga kepada pihak selain orang Belanda,” catat Ita Syamtasiyah Ahyat dalam Kesultanan Kutai 1825—1910.

Melalui Besluit itu, Belanda hendak menjamin kekayaan alam Bumi Mulawarman, muntak dimiliki Negeri Ratu Wilhelmina.

Penggalian dilanjutkan oleh pihak kolonial. Belanda bahkan mengundang insinyur pertambangan bernama Jacobus Herbertus Menten pada 1862.

Jacobus bertugas menggali lebih banyak batubara di Palaran.

Hasilnya cukup mencengangkan di masa itu, dari 800 ton oleh G.P. King (1861), menjadi 1.292 ton oleh pihak Belanda (1862).

Fajar Alam, Pegiat Sejarah juga membuat catatan tentang pertambangan batu bara era kolonial di Palaran.

Pengajar di UMKT ini merujuk berbagai catatan sejarah seperti Posewitz (1892) berjudul "Borneo: It's Geology and Mineral Resources" dan van Bemmelen (1949) berjudul: "The Geology of Indonesia Vol. II Economic Geology", Government Printing Office, The Hague.

Fajar Alam (2017) menulis penemuan batu bara di Palaran, pihak kolonilai lalu menugaskan Von Dewall, untuk melakukan serangkaian penelitian lebih lanjut tentang batubara kawasan tersebut.

Pada tahun 1847, batu bara ditemukan lagi di 4 sungai lain: Karang Asam Kecil (Samarinda), Karbomo (nama tidak dikenal saat ini), Sanga-Sanga dan Dondang (masuk wilayah Kutai Kartanegara) dengan kualitas setara temuan batubara di Palaran.

Tambang di Palaran mulai dikerjakan tahun 1861, lalu ditutup pada tahun 1872: Fajar Alam (2017).

Pertambangan batu bara lalu dilanjutkan pada tahun 1888.

Pada tahun itu, dibentuk perusahan pertambangan bernama Oost-Borneo Maatschappij (OBM) di Loa Kulu, Kutai Kartanegara.

Pada tahun 2017, Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Kalimantan Timur (IAGI Pengda Kaltim), Komunitas Samarinda Bahari, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda, melakukan pencarian jejak peninggalan pertambangan batu bara Belanda di Palaran.

Hasilnya, satu mulut terowongan yang diyakini merupakan terowongan angkut batubara berhasil ditemukan dengan petunjuk warga, perkiraan lokasi pelabuhan batu bara (stockpile).

Penemuan penting juga ditemukannya nama-nama jalan yang masih menggunakan istilah Belanda: Straat 1 hingga Straat 9. (Er Riyadi)

Tag berita:
IDEhabitat