Minggu, 6 Oktober 2024

Asal-usul dan Sejarah

Mengenang Masa Kejayaan Kapal Tambangan di Samarinda, Rontok Saat Soeharto Resmikan Jembatan Mahakam

Punya Kans jadi Wisata Air Sungai Mahakam

Kamis, 16 Desember 2021 20:43

Kapal tambangan berdampingan dengan kapal pengangkut batu bara. Mengenang masa kejayaan kapal tambangan di Samarinda, rontok saat Soeharto resmikan jembatan Mahakam. (Er Riyadi)

IDENESIA.CO - Kapal tambangan merupakan primadona warga Samarinda yang hidup khidmat bersama Sungai Mahakam.

Namun, itu dulu, sekira era 70an hingga 80an di ibu kota Kalimantan Timur alias Kaltim

Ia menjadi salah satu transportasi vital masyarakat Samarinda, KaltimKhususnya bagi masyarakat Samarinda Seberang.

Lantaran menjadi satu-satunya moda transportasi air yang menghubungkan kehidupan masyarakat Samarinda Seberang dan Samarinda Kota.

Sehingga bagi masyarakat Samarinda Seberang, kapal tambangan memang akrab di telinga mereka.

Ia bukan hanya sekadar alat transportasi, kapal tambangan menjadi sebuah peninggalan budaya.

Bagi penulis, kapal tambangan membawa jauh memori masa silam saat masih menjadi bocah. 


Warga menaiki kapal tambangan di sungai Mahakam. (Er Riyadi)

Nah, masa kejayaan kapal tambangan di Samarinda mulai rontok saat presiden Soeharto meresmikan jembatan Mahakam di Kota Samarinda, Kaltim.

Untuk diketahui, kapal tambangan memikiki panjang 18 meter, dengan lebar sekitar 2,5 meter, berbahan kayu ulin.

Kapasitas kapal tambangan mampu memuat 20 orang penumpang.

Penulis berkenalan dengan seorang Motoris kapal tambangan.

Muhammad Yusuf namanya.

Dari penuturannya, Yusuf sudah jadi motoris pada era tahun 80an.

Bagaimana kapal tambangan berada di masa kejayaannya, begituliah penulis menyelidik memori Yusuf, Sang motoris kawakan.

“Tahun 1980-an, masyarakat cuma pakai tambangan ke Samarinda Seberang, atau ke Pasar Pagi," ungkapnya.

Dari Dermaga Samarinda Ilir (Pasar Pagi), rute penyeberangan Sungai Mahakam, dibagi ke beberapa dermaga di bagian Samarinda Seberang, mulai dari Sungai Keledang, Padaelo, Terminal Banjarmasin, Batang Aji, Batang Mukhsin, dan Mangkupalas.

Penulis mencoba mengambil rute, dari Dermaga Batang Aji di Samarinda Seberang, menuju Dermaga Samarinda Ilir.

Kembali menyusuri Sungai Mahakam dengan Kapal Tambangan, penulis seakan sedang bernostalgia.

Yusuf kembali melanjutkan kisahnya. Menjadi motoris kapal sejak tahun 80an, tarif per penumpang masih Rp100. 

Dalam sehari ia bisa membawa pulang uang mulai Rp20 ribu sampai Rp50 ribu setiap hari.

"Itu (pendapatan) sudah besar," ceritanya.

Saat ini, biaya perjalanan air menggunakan Kapal Tambangan sebesar Rp10 ribu.

Dalam satu hari, motoris kini hanya bisa membawa rupiah kisaran angka Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.


Kapal tambangan berdampingan dengan tanker batu bara.

Kejayaan Kapal Tambangan mulai meredup setelah tahun 1987, Jembatan Mahakam diresmikan Presiden Soeharto kala itu.

Pilihan transportasi masyarakat menuju Samarinda kota mulai beralih.

Kapal Tambangan semakin tersingkirkan. Pilihan tansportasi yang beragam, memaksa tambangan menjelma jadi monumen sejarah yang masih beroperasi.

Saat ini tersisa kurang dari 100 Kapal Tambangan hilir mudik Sungai Mahakam.

"Kini tersisa sekitar 37 tambangan yang beroperasi. Dibanding dulu ada sekitar 300 tambangan," ungkapnya.

Kapal Tambangan sebagai salah satu saksi kemajuan peradaban Kota Tepian, memiliki potensi wisata yang amat luar biasa.

Pastinya menyusuri Sungai Mahakam, menaiki Kapal Tambangan yang punya nilai historis, jadi perpaduan yang manis. (Er Riyadi)

Tag berita:
IDEhabitat