IDENESIA.CO - Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa sejarah sebagai permulaan Bangsa Indonesia menjadi negara yang berdaulat di mata dunia.
Bagaimana peristiwa menjadi bukti yang nyata ? Momen itu ternyata diabadikan oleh Mendur bersaudara melalui kamera foto.
Saat ini foto yang tersebar dan sering dilihat hanya 5 foto yaitu Sukarno saat membaca Teks Proklamasi, penaikan bendera, teks proklamasi dalam tulisan tangan, teks proklamasi dalam ketikan, dan Moh. Hatta saat upacara berlangsung.
Namun berdasarkan penelitian Kantor Berita Antara dan Yayasan Bung Karno tahun 2012, ditemukan 13 foto karya Frans Mendur lainnya dan diduga masih ada foto lainnya yang belum ditemukan (Rondonuwu, 2017).
Peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta serta dilakukan pengibaran bendera sang saka merah putih di kediaman Soekarno, di jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta Pusat.
Momen bersejarah itu juga diabadikan oleh dua fotografer asal Minahasa, Sulawesi Utara, yakni Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarta Mendur yang secara sukarela mengabadikan peristiwa langka bagi bangsa Indonesia itu.
Foto hasil karya mereka kemudian menjadi satu-satunya foto otentik yang berhasil merekam peristiwa bersejarah Indonesia.
Profil Mendur Bersaudara
Siapa Mendur Bersaudara? Alex dan Frans Mendur merupakan dua bersaudara dari daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara yang sama-sama saling menyukai dunia fotografi.
Dikutip dari penelitian bertajuk Peran IPPHOS dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 (2015), Yudi Rahardjo menjelaskan Alex Mendur dilahirkan 7 November 1907 dari pasangan August Mendur dan Ariance Mononimba.
Alex dilahirkan sebagai anak sulung dari 11 bersaudara.
Sementara itu Frans Mendur, sang adik, lahir 6 tahun kemudian yakni pada tahun 1913 saat Alex kecil yang kelak juga menyukai ilmu bumi masih tinggal di Minahasa.
Ketertarikan itu membawa nasib baik berpihak pada Alex, dia kemudian dipertemukan dengan saudara sekaligus mentornya Anton Nayoan yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Melayu dan mengenalkannya fotografi.
Karier Alex sebagai wartawan foto dimulai pada tahun 1925 saat dia bekerja di harian Java Bode.
Alex menjadi satu-satunya fotografer berkebangsaan Indonesia di media berbahasa Belanda di Jakarta tersebut.
Setelah 11 tahun bekerja sebagai wartawan, Alex kemudian bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij atau Perusahaan Pelayaran Kerajaan.
Ia ditempatkan di bagian publikasi dan reklame pada tahun 1936. Saat Jepang menginvasi Indonesia tahun 1942, Alex kemudian masuk dalam barisan propaganda dan pelopor.
Di sana ia ditunjuk pemerintah Jepang untuk bekerja sebagai kepala bagian fotografi kantor berita Domei.
Pekerjaannya sebagai wartawan foto inilah yang kemudian memberi kesempatan bagi Alex untuk melakukan berbagai dokumentasi dari setiap peristiwa di Indonesia masa itu.
Sesudah itu, apa yang dipelajari oleh Alex inilah yang akhirnya ditularkan pada sang adik, Frans Sumarto Mendur yang setelah usia remaja pada umur 14 tahun menyusul kakaknya untuk ikut merantau ke Jawa.
Frans yang tiba di Jawa juga diangkat anak oleh seorang bernama Suma saat di Jawa Timur pada tahun 1927.
Kelak nama inilah yang kemudian dia sematkan sebagai nama tengahnya dan menjadi bagian dari keluarga Jawa dengan tambahan Sumarto.
Setelah 9 tahun digembleng oleh sang kakak untuk belajar fotografi, Frans lalu terjun sebagai jurnalis foto pada tahun 1935 saat ia berusia 22 tahun, dan mengirim beberapa karyanya ke sejumlah media seperti ke Java Bode dan Wereld Nieuws en Sport in Beeld, sebuah surat kabar mingguan berbahasa Belanda.
Selain itu Frans juga mengirimkan karya-karyanya pada Harian Nasional dan Harian Pemandangan yang kala itu merupakan salah satu surat kabar besar di Hindia Belanda.
Saat masa pendudukan Jepang Frans juga menjadi wartawan foto untuk Djawa Shimbun Sha, semacam Serikat Penerbit Surat Kabar.
Di tempat lain Frans juga bekerja untuk Surat Kabar Asia Raya, yang mana saat berkarier sebagai wartawan inilah akhirnya dia dapat bergerak bebas kemana-mana meski pada masa pendudukan Jepang sensor terhadap pemberitaan sangatlah keras.
Namun lewat momen ini juga yang mematangkan pengalamannya dalam dunia fotografi sekaligus melihat dengan mata kepala sendiri apa yang tidak diketahui orang kebanyakan dari kejamnya penjajahan.
Akhir Hidup Mendur Bersaudara
Wafatnya Dua Fotografer Proklamasi Setelah Indonesia merdeka, Frans Mendur masih berkecimpung dalam dunia jurnalistik dan pers.
Pada tahun 1954 hingga tahun 1958 ia sempat menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta.
Namun akibat sakit yang dideritanya, perintis fotografi nasional itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971.
Sementara itu Alex Mendur, sang kakak pasca kemerdekaan juga sempat bekerja sebentar di surat kabar Indonesia Merdeka pimpinan B.M. Diah.
Dia juga mendirikan kantor berita foto bernama Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) pada 2 Oktober 1946 bersama Oscar Ganda, Alex Mamusung, Frans Mendur, Frans Umbas, dan Justus Umbas.
Dia meninggal pada 30 Desember 1984 di usia 77 tahun.
Untuk mengenang jasa Mendur bersaudara di Kawangkoan, kemudian didirikan Tugu Pers Mendur yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013.
Tugu ini digagas oleh Gubernur Sulawesi Utara pada masa itu, Drs. H. Sarundajang.
Alex dan Frans Mendur telah mendapatkan Bintang Jasa Utama pada 9 November 2009 dan Bintang Mahaputera Nararya pada 12 November 2010. Namun hingga saat ini mereka belum menjadi Pahlawan Nasional.
Mengabadikan Proklamasi
Detik-detik Mengabadikan Proklamasi Kemerdekaan Satu hari sebelum proklamasi kemerdekaan digaungkan dari kediaman Soekarno, pada malam harinya Frans mendengar kabar dari kawan-kawan pergerakan bahwa esok pagi momen bersejarah itu akan dilaksanakan setelah mendapat izin dari Laksamana Maeda.
Frans kemudian berangkat ke rumah Soekarno dengan berbekal kamera Leica serta satu buah roll film.
Dia sebenarnya ragu mengenai informasi tersebut, namun tetap meyakinkan diri dan berangkat menuju jalan yang kini dikenal dengan nama jalan Proklamasi.
“Saya sendiri semula tidak percaya ketika seorang rekan wartawan Jepang dari Djawa Shimbun Sya pada tanggal 16 Agustus malam memberitahukan kepada saya bahwa keesokan hari tanggal 17 Agustus 1945 akan dilakukan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia", tulis Frans dikutip dari laman kebudayaan.
Sementara itu, sang kakak, Alex Mendur yang mengetahui berita tersebut dari rekan kerjanya di kantor berita Domei, yaitu Zahrudi (Kuswiah, 1986, 22).
Kemudian juga berangkat dan perlu mendokumentasikan peristiwa tersebut agar jangan sampai terlewat untuk diabadikan.
Pagi dini hari Frans berangkat ke Pegangsaan bersama rekan seperjuangan Basir Pulungan dengan cara sembunyi-sembunyi dan mengendarai mobil hasil pinjaman orang Jepang yang pro terhadap kemerdekaan Indonesia.
Sesampainya di Pegangsaan mereka telah melihat beberapa tokoh seperti dwitunggal Soekarno-Hatta tengah berunding.
Saat matahari mulai menghangat tokoh-tokoh pergerakan dan pejuang Indonesia pun mulai memadati tempat tersebut.
Sekira pukul 10 pagi semangat kemerdekaan pun pecah, teriakan "Merdeka-Merdeka!" yang bergaung bak halilintar tak henti-hentinya reda memenuhi atmosfer udara di Pegangsaan.
Hingga kemudian berkumandanglah teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno yang semakin membuat teriakan "Merdeka!" terus membahana, bersamaan dengan sorak-sorai hadirin yang menggambarkan semangat pemuda dalam menyambut kemerdekaan.
Euforia tersebut bahkan sempat membuat Frans terlena hingga ia sempat lupa untuk menjepret momen-momen kemerdekaan.
Namun ia segera sadar bahwa ada tugas suci dalam merekam sejarah bangsa dan harus segera dilakukan dan segera menyembunyikannya karena jika diketahui Jepang dapat berujung nyawa.
Roll yang Terampas hingga Kucing-kucingan dengan Jepang Apa yang dikhawatirkan Frans memang terjadi.
Jepang mencium gelagat proklamasi kemerdekaan yang digaungkan Soekarno-Hatta di Pegangsaan. Dua bersaudara yang mengabadikan momen tersebut kemudian diburu tentara Jepang kantor berita Domei itu lalu dirampas hingga tak terselamatkan.
Namun Frans beruntung karena sempat menyembunyikan negatif film hasil jepretannya di dalam tanah di kebun di area kantornya tempat bekerja.
Kendati demikian, ia masih harus kucing-kucingan dengan tentara Jepang saat hendak mencetak hasil foto tersebut.
Dia dan beberapa teman perjuangan perlu menyelinap di malam hari, melompati pohon dan memanjat pagar di kantor Domei hanya untuk mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia sudah merdeka dengan mencetak negatif film itu di sebuah lab.
Setelah dicetak, dari hasil jepretannya Frans mendapatkan beberapa sudut foto, seperti saat Soekarno membacakan teks proklamasi, pengibaran bendera merah putih oleh anggota Pembela Tanah Air (PETA) Latief Hendradiningrat, serta suasana upacara pengibaran bendera Merah Putih.
(Redaksi)