IDENESIA.CO - Penerimaan pajak dalam dua bulan pertama tahun 2025 mengalami penurunan tajam.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, hingga Februari, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target tahunan.
Angka ini turun 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp269,02 triliun.
Penurunan ini berdampak pada defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang per 28 Februari 2025 tercatat sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB.
Sementara belanja negara sudah mencapai Rp348,1 triliun, pendapatan negara baru Rp316,9 triliun.
Penyebab Anjloknya Penerimaan Pajak Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengidentifikasi beberapa faktor utama penyebab penurunan penerimaan pajak:
1. Penurunan Harga Komoditas
Sejumlah komoditas utama yang menjadi andalan penerimaan negara mengalami penurunan harga secara tahunan (yoy), seperti batu bara (-11,8%), minyak (-5,2%), dan nikel (-5,9%). Akibatnya, penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan energi ikut merosot.
2. Administrasi Pajak dan Kebijakan Fiskal
o Perubahan penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
o Relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di dalam negeri yang mengurangi penerimaan.
o Hambatan teknis dalam sistem pelaporan pajak akibat gangguan pada sistem Coretax, yang menghambat pelaporan PPN oleh pelaku usaha.
3. Kebijakan Populis Pemerintah Baru
Analis ekonomi Ronny Sasmita menilai kebijakan Presiden Prabowo Subianto, seperti pemangkasan PPN untuk diskon tiket pesawat mudik Lebaran dan insentif kendaraan listrik serta properti, turut berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak.
"Kebijakan populis ini lebih bersifat politis daripada fiskal. Dampaknya langsung terasa pada penerimaan negara," ujar Ronny.
4. Dampak Pergantian Pemerintahan
Pergantian pemerintahan juga memicu perubahan kebijakan fiskal yang memengaruhi pemasukan negara.
Beberapa sektor utama seperti manufaktur dan jasa mengalami kontraksi, yang turut menekan penerimaan pajak. Dampak pada APBN dan Utang Negara Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti dampak defisit yang semakin membesar terhadap kondisi keuangan negara.
Ia mencatat bahwa:
• Belanja negara menurun 7 persen (yoy), sementara belanja kementerian/lembaga turun drastis hingga 30,33 persen.
• Sebaliknya, belanja program seperti Makan Bergizi Gratis justru meningkat 6,91 persen, menunjukkan dorongan pemerintah untuk pengeluaran tanpa mempertimbangkan penerimaan yang ada.
• Utang negara tumbuh pesat hingga 44,77 persen pada Januari 2025 dan mencapai kenaikan 19,42 persen atau sekitar Rp220 triliun hingga Februari.
“Jika tren ini berlanjut, rasio defisit anggaran terhadap PDB bisa mendekati atau bahkan melampaui batas 3 persen di akhir tahun,” kata Huda.
Potensi Perbaikan Meskipun penerimaan pajak menurun, ada harapan kondisi ekonomi bisa membaik dalam beberapa bulan mendatang.
Ronny Sasmita melihat peluang dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang dapat mendorong harga komoditas naik dan meningkatkan ekspor Indonesia.
"Ekspor komoditas utama seperti batu bara, CPO, dan gas masih bisa menjadi sumber pemasukan yang signifikan bagi negara," ujarnya.
Namun, pemerintah perlu segera menyesuaikan strategi fiskal untuk mengatasi defisit yang membesar dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.
(Redaksi)