IMG-LOGO
Home Nasional Penggusuran 10 Rumah Warga Telemow di Tengah Persidangan, LBH Samarinda Nilai ITCI-KU Langgar Keadilan Hukum
nasional | umum

Penggusuran 10 Rumah Warga Telemow di Tengah Persidangan, LBH Samarinda Nilai ITCI-KU Langgar Keadilan Hukum

oleh VNS - 16 Mei 2025 15:42 WITA

Penggusuran 10 Rumah Warga Telemow di Tengah Persidangan, LBH Samarinda Nilai ITCI-KU Langgar Keadilan Hukum

Konflik agraria antara masyarakat Desa Telemow dan PT International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (ITCI-KU) kembali memanas. Di tengah pr...

IMG
FOTO : Konferensi Pers LBH Samarinda bersama WALHI Kaltim yang menyorot penggusuran ruang hidup warga Telemow oleh PT ITCI-KU. (IST)

IDENESIA.CO - Konflik agraria antara masyarakat Desa Telemow dan PT International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (ITCI-KU) kembali memanas. Di tengah proses hukum yang masih berlangsung di Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara (PN PPU), perusahaan yang diketahui terafiliasi dengan keluarga tokoh nasional itu justru menggusur sepuluh rumah warga pada 13 Mei 2025.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda mengecam keras tindakan sepihak tersebut. Mereka menilai, penggusuran yang dilakukan di atas lahan yang masih bersengketa melanggar prinsip-prinsip keadilan dan merupakan bentuk tekanan terhadap warga yang tengah berjuang mempertahankan hak atas tanahnya.

"Tindakan penggusuran ini sangat tidak beretika. Lahan yang digusur masih dalam proses hukum di pengadilan. Ini bentuk arogansi perusahaan dan pelecehan terhadap proses peradilan," kata Fathul Huda Wiyashadi, Pengacara Publik LBH Samarinda, dalam konferensi pers yang digelar Jumat (16/5/2025) di Samarinda.

Empat orang warga Desa Telemow, yakni Syafarudin, Syahdin, Hasanudin, dan Rudiansyah, saat ini sedang menghadapi proses hukum di PN PPU. Mereka dituduh melakukan pengancaman dan penyerobotan lahan berdasarkan laporan pihak PT ITCI-KU. Tuduhan ini didasarkan pada Pasal 336 KUHP (Pengancaman) dan Pasal 385 KUHP (Penyerobotan Lahan).

Namun LBH Samarinda menilai penahanan keempat warga tersebut tidak memiliki dasar kuat. Dalam proses sidang sebelumnya, terungkap fakta bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT ITCI-KU diduga bermasalah secara administratif.

"Fakta di persidangan menunjukkan SHGB perusahaan ini cacat hukum. Salah satu titik koordinat yang mereka klaim ternyata tidak sesuai dengan yang tertera dalam peta," tambah Fathul.

Menurutnya, tindakan penggusuran dilakukan justru sebagai bentuk ketidakyakinan perusahaan akan kekuatan legalitas mereka di pengadilan. “Ini seperti menunjukkan siapa yang punya kekuasaan, bukan siapa yang benar,” ujarnya.

Warga Desa Telemow mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan resmi sebelum rumah mereka diratakan alat berat perusahaan. Penggusuran dilakukan dengan pengawalan pihak keamanan, tanpa ada solusi pengganti atau proses mediasi yang layak.

“Kami kaget. Tanpa pemberitahuan, rumah kami dihancurkan. Padahal tanah ini sudah kami garap dan tempati puluhan tahun. Bahkan kami sedang berjuang secara hukum,” kata salah satu warga yang menjadi korban, Hasanudin.

LBH Samarinda menyebut penggusuran ini bisa dikategorikan sebagai perampasan ruang hidup, terlebih dilakukan saat sebagian warga sedang dalam posisi tidak berdaya karena tengah menghadapi proses persidangan.

LBH Samarinda juga mendesak pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk mengambil sikap atas konflik ini. Mereka menyinggung pernyataan Prabowo dalam berbagai kesempatan yang menyatakan keberpihakan terhadap rakyat kecil dan siap menyerahkan tanah milik keluarganya jika dibutuhkan negara.

"Kami ingin melihat apakah pernyataan itu benar-benar tulus. Tanah yang menjadi sumber konflik ini disebut-sebut berkaitan dengan Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden. Kalau memang pemerintah ingin membela rakyat, inilah saatnya,” tegas Fathul.

Sebagai informasi, Konflik antara warga Telemow dan PT ITCI-KU bukan hal baru. Perseteruan terkait klaim atas tanah ini sudah berlangsung sejak 2017. Perusahaan pernah melaporkan warga, namun kasus sebelumnya tidak dilanjutkan karena dinilai tidak memenuhi unsur pidana.

Ketegangan kembali meningkat setelah keempat warga ditahan pada April 2025, lalu disusul dengan tindakan penggusuran pada Mei 2025, meski belum ada putusan pengadilan yang inkrah terkait kepemilikan lahan tersebut.

LBH Samarinda berkomitmen untuk terus mendampingi warga Desa Telemow dan membawa kasus ini ke perhatian publik. Mereka juga akan melaporkan tindakan penggusuran ke Komnas HAM, Ombudsman, hingga lembaga internasional jika diperlukan.

“Negara harus hadir, bukan malah berpihak pada perusahaan. Apalagi jika perusahaan itu terkait dengan elite politik nasional,” tutup Fathul.

(Redaksi)