IMG-LOGO
Home Sosok Tak Hanya Menghujat: Hendropriyono Minta Publik Lihat Sisi Lain Hercules
sosok | umum

Tak Hanya Menghujat: Hendropriyono Minta Publik Lihat Sisi Lain Hercules

oleh VNS - 04 Mei 2025 14:46 WITA

Tak Hanya Menghujat: Hendropriyono Minta Publik Lihat Sisi Lain Hercules

Di tengah panasnya perdebatan publik mengenai sepak terjang tokoh ormas Hercules Rosario de Marshall, muncul suara berbeda dari seorang tokoh militer...

IMG
KOLASE - Hendropriyono (Kiri) dan Hercules (Kanan) . foto: Istimewa


IDENESIA.CO - Di tengah panasnya perdebatan publik mengenai sepak terjang tokoh ormas Hercules Rosario de Marshall, muncul suara berbeda dari seorang tokoh militer senior.

Adalah Jenderal TNI (Purn) A.M. Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), yang memilih langkah tak biasa: bukan mengecam, melainkan merangkul dan mengajak bangsa untuk bercermin.

“Jangan buru-buru menghakimi,” kata Hendropriyono dalam wawancara yang tayang di kanal YouTube Kilat Media, Sabtu (4/5/2025). “Hercules, sama seperti kita semua, adalah anak bangsa. Dia tidak muncul begitu saja, dia lahir dari kondisi sosial kita, dan dari situ pula kita harus mulai melihat persoalannya.”

Pernyataan ini muncul di tengah memuncaknya kritik terhadap Hercules usai pernyataannya yang menyerang mantan Pangdam Jaya dan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Konflik bermula dari dukungan Sutiyoso terhadap revisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang menyentil praktik ormas yang berperilaku layaknya preman. Dalam tanggapannya, Hercules membalas dengan kalimat pedas, menyebut Sutiyoso “mulut bau tanah” dan mengklaim tak takut pada siapa pun.

Respon publik pun keras. Media sosial dibanjiri kecaman. Banyak pihak menyebut Hercules tak layak bicara soal ormas jika tindak-tanduknya mencerminkan premanisme. Tapi di balik hiruk-pikuk suara yang menyerang, Hendropriyono justru memilih suara yang menyejukkan:

“Kalau kita terus menghujat dia, ramai-ramai, itu sama saja membunuh secara perdata. Kita bunuh eksistensinya di masyarakat,” ujarnya.

Rosario de Marshall, atau lebih dikenal dengan nama Hercules, bukan nama baru di telinga masyarakat Indonesia. Ia pernah menjadi Tenaga Bantuan Operasi (TBO) TNI saat konflik di Timor Timur, kini Timor Leste.

Dalam perjalanannya bersama pasukan Indonesia, ia kehilangan sebagian tubuhnya satu kaki, satu tangan, dan salah satu mata namun tetap setia pada Republik Indonesia.

“Banyak dari mereka yang dulu ikut bersama kita, kemudian memilih menjadi warga negara Timor Leste. Tapi Hercules tidak. Dia tetap di sini, tetap bersama kita. Itu pilihan yang tidak bisa dianggap remeh,” kata Hendropriyono dengan nada menekankan.

Namun realitas sosial tak seindah narasi patriotik. Setelah perang usai, Hercules pulang ke ibu kota bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai orang buangan yang berjuang mencari tempat dalam hiruk-pikuk Jakarta. Ia membentuk jaringan, membangun pengaruh, dan perlahan masuk dalam lingkaran kekuasaan melalui organisasi masyarakat yang kini diketuainya: Gerakan Rakyat Indonesia Baru (Grib).

“Dia seperti itu karena kita juga. Karena ketimpangan sosial, karena kegagalan kita merangkul para pejuang seperti dia secara utuh,” ujar Hendropriyono.

Meski membela keberadaan Hercules sebagai anak bangsa, Hendropriyono tidak menutup mata atas kesalahannya. Ia secara tegas menyatakan bahwa Hercules perlu berubah.

“Dia tidak boleh terus seperti ini. Organisasinya harus dibenahi. Tidak boleh dibiarkan jadi sarang premanisme. Itu tanggung jawab dia juga.”

Namun lebih dari itu, Hendropriyono mendorong perubahan tidak hanya dari individu, tapi juga dari sistem. Ia mengajak semua pihak, termasuk masyarakat, tokoh militer, dan pemerintah, untuk melakukan introspeksi: bagaimana seseorang yang pernah berada di sisi negara berubah menjadi sosok yang hari ini menuai kontroversi dan ketakutan?

“Kita harus bertanya: di mana salahnya? Kok bisa dia berubah jadi seperti ini? Kalau kita tidak jawab pertanyaan itu dengan jujur, kita akan menciptakan banyak Hercules lain di masa depan,” tegasnya.

Pernyataan ini seolah menjadi tamparan halus bagi bangsa yang kerap buru-buru menghakimi, tapi enggan menyelami akar persoalan. Hendropriyono tidak menawarkan pembenaran atas perilaku kasar Hercules, tetapi menawarkan jalan lain: perbaikan struktural, sosial, dan moral  bukan pembinasaan karakter.

Pernyataan Hendropriyono menggarisbawahi pentingnya rekonsiliasi dalam membangun bangsa. Bahwa perbedaan pandangan, konflik antar generasi, dan pertentangan antara sipil dan militer bukanlah alasan untuk saling menghancurkan. Ia berharap Hercules mau berubah, dan negara memberikan ruang yang benar untuk perubahan itu.

“Kalau dia mau berubah, kita harus buka ruang. Jangan terus dihajar. Itu bukan keadilan, itu pembunuhan karakter,” pungkasnya.

(Redaksi)