Sejarah

Mengapa Brunei Dua Kali Menolak Bergabung dengan Malaysia?

IDENESIA.CO –  Pertanyaan mengenai “mengapa Brunei tidak bergabung dengan Malaysia ?” kembali menjadi sorotan. Negara kecil di pesisir Kalimantan Utara ini sebenarnya memiliki dua kesempatan besar untuk masuk ke dalam Federasi Malaysia, yaitu pada tahun 1963 dan 1984.

Namun, Brunei memilih untuk berdiri sendiri dan mempertahankan statusnya sebagai kerajaan merdeka. Keputusan itu bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi terbentuk melalui proses panjang yang dipengaruhi sejarah, pertimbangan politik, dan kepentingan ekonomi yang sangat besar.

Warisan Sejarah dan Persaingan Kawasan

Untuk memahami penolakan itu, kita perlu melihat ke belakang. Pada abad ke-16, Kesultanan Brunei pernah menjadi kekuatan besar yang menguasai sebagian besar wilayah Kalimantan. Namun posisi itu melemah ketika ekspansi kolonial Barat memasuki Asia Tenggara. Setelah serangkaian tekanan militer dan politik, wilayah Brunei semakin menyusut.

Transisi utama terjadi pada 1842, ketika petualang Inggris, James Brooke, menguasai Sarawak dari Brunei. Peristiwa itu membuka jalan bagi Inggris untuk memperkuat pengaruhnya di Kalimantan Utara. Pada akhir abad ke-19, Brunei, Sarawak, dan Sabah telah masuk ke dalam sistem kolonial Inggris. Situasi semakin rumit ketika Inggris menyerahkan wilayah Limbang kepada Sarawak. Langkah itu memisahkan wilayah Brunei menjadi dua bagian dan menyisakan luka sejarah yang memengaruhi hubungan Brunei–Malaysia hingga hari ini.

Namun, sejarah kolonial yang berat ini tidak sepenuhnya merugikan Brunei. Pada 1928, penemuan ladang minyak lepas pantai mengubah arah masa depan negara kecil itu. Memasuki tahun 1930-an, Brunei menjadi salah satu wilayah penghasil minyak terbesar di kawasan kolonial Inggris. Kekayaan energi inilah yang kemudian memainkan peran sentral dalam penolakan Brunei terhadap Federasi Malaysia.

Rencana Malaysia dan Manuver Politik Brunei

Setelah Perang Dunia II, Inggris berencana mengurangi keterlibatannya di Asia Tenggara. Dalam konteks itu, Malaya mengusulkan Rencana Federasi Malaysia, yaitu gagasan untuk menyatukan Singapura, Sarawak, Sabah, dan Brunei. Malaysia ingin memperkuat diri secara geopolitik menghadapi ancaman komunis dan kompetisi regional.

Di sisi lain, Brunei mencoba mengambil posisi yang lebih strategis. Brunei mengajukan Rencana Federasi Kalimantan Utara, yang bertujuan menyatukan Brunei, Sarawak, dan Sabah dengan Brunei sebagai pusatnya. Namun, rencana tersebut gagal setelah Pemberontakan Partai Rakyat Brunei tahun 1962. Dalam kondisi politik yang genting, Sarawak dan Sabah kemudian bergeser mendukung Rencana Malaysia.

Ketika negosiasi antara Brunei dan Malaya dimulai pada 1963, tiga isu utama memunculkan kebuntuan:

1. Kontrol Pendapatan Minyak

Brunei menegaskan hak penuh atas pendapatan minyak dan gasnya. Industri energi saat itu sudah menyumbang lebih dari 60% ekonomi Brunei. Malaysia menolak dan bersikeras bahwa pendapatan sumber daya harus dikelola secara terpusat oleh Federasi Malaysia. Perbedaan pandangan ini membuat negosiasi sulit berkembang.

2. Status Politik Sultan

Sultan Brunei menginginkan posisi politik yang kuat dalam struktur Malaysia. Ia meminta peran tinggi di Konferensi Penguasa Malaysia, bahkan mengusulkan status Wakil Yang di-Pertuan Agong yang bersifat turun-temurun. Malaya tidak bisa menerima permintaan itu karena dianggap mengganggu keseimbangan politik kerajaan-kerajaan lain.

3. Perbedaan Sistem Pemerintahan

Brunei adalah monarki absolut, sementara Malaysia menerapkan monarki konstitusional federal. Jika bergabung, Sultan harus menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada pemerintah pusat. Brunei menilai perubahan itu terlalu berisiko bagi stabilitas kerajaan.

Karena ketiga isu tidak menemukan titik temu, Brunei memilih tetap menjadi protektorat Inggris.

Keputusan 1984: Kemerdekaan dan Jalur Mandiri

Ketika Malaysia terbentuk pada 1963, Brunei mengamati perkembangan politik kawasan. Setelah Singapura dikeluarkan dari Malaysia pada 1965, Brunei semakin yakin bahwa negara kecil tidak memiliki posisi yang aman dalam federasi yang didominasi Semenanjung Malaya.

Kejadian lain memperkuat keputusan Brunei: pemerintah pusat Malaysia hanya memberikan 5% bagi hasil minyak kepada Sarawak dan Sabah, padahal sebelumnya mencapai 40%. Perubahan drastis itu memperlihatkan bahwa wilayah non-Semenanjung berada dalam posisi tawar politik yang lemah.

Berbeda dengan Sarawak dan Sabah, Brunei terus menguat secara ekonomi. Pada awal 1980-an, ketika rencana bergabung kembali mencuat, PDB per kapita Brunei sudah menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara berkat minyak dan gas. Dengan kekuatan ekonomi itu, Brunei memilih jalur independen. Pada 1 Januari 1984, Brunei secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya.

Keputusan itu terbukti tepat. Hingga 2024, Brunei mencatat PDB per kapita sekitar USD 35.000, lebih tinggi dari Jepang dan Korea Selatan. Negara itu memberikan pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, subsidi perumahan, dan tidak memungut pajak penghasilan. Sebaliknya, Malaysia hanya mencapai PDB per kapita sekitar USD 13.000.

Kemandirian Sebagai Strategi Bertahan Negara Kecil

Penolakan Brunei untuk bergabung dengan Malaysia berakar pada kontrol sumber daya, otonomi politik, dan perbedaan sistem pemerintahan. Keputusan itu menunjukkan bahwa negara kecil mampu bertahan dan bahkan lebih makmur apabila mampu mengelola kekayaan alam dan memaksimalkan posisi geopolitiknya. Brunei membuktikan bahwa kemerdekaan bukan hanya simbol, tetapi strategi yang secara ekonomi dan politik justru membawa stabilitas jangka panjang.

(Redaksi)

Show More
Back to top button