Internasional

Krisis Kuliner di Singapura: Ribuan Restoran Legendaris hingga Favorit Keluarga Tumbang

IDENESIA.CO – Di balik gemerlap statusnya sebagai pusat keuangan global dan negara maju, Singapura kini menghadapi gelombang krisis ekonomi yang tercermin jelas dalam sektor kulinernya.

Fenomena gulung tikar massal dalam bisnis makanan dan minuman (F&B) telah mencapai titik kritis, menyoroti tekanan struktural yang mencekik operator kecil dan bahkan restoran legendaris yang telah berdiri selama puluhan tahun.

Data menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan sepanjang tahun lalu, dilaporkan lebih dari 3.000 bisnis kuliner terpaksa menutup pintunya. Angka ini setara dengan rata-rata 250 restoran yang tutup setiap bulannya, menjadikannya jumlah penutupan tertinggi yang tercatat dalam hampir dua dekade terakhir.

Jumlah ini menjadi indikasi kuat bahwa Negeri Singa sedang mengalami guncangan ekonomi serius di tingkat akar rumput bisnis.

Salah satu korban terbaru dari badai ini adalah Ka-Soh, sebuah institusi restoran Kanton berusia 86 tahun yang dikenal dengan sup ikannya yang melegenda. Pemilik generasi ketiga, Cedric Tang, mengungkapkan perasaannya dengan kata yang menyakitkan Kalah. Ka-Soh dijadwalkan menyajikan mangkuk sup ikan terakhirnya pada 28 September mendatang. 

“Meskipun kami telah bekerja keras selama bertahun-tahun, kami akhirnya sudah cukup,” ujar Tang dengan nada pasrah. 

Keputusan berat ini diambil karena Tang merasa tidak mungkin menaikkan harga jual makanan. Ka-Soh, sebagai bisnis warisan, ingin menjaga esensi terjangkau bagi pelanggan setianya sebuah prinsip yang kini tidak dapat dipertahankan di tengah lonjakan biaya operasional yang tak terkendali.

Ka-Soh hanyalah salah satu dari ribuan korban. Mereka bergabung dengan daftar panjang restoran yang tutup, termasuk Burp Kitchen & Bar, sebuah restoran favorit keluarga, yang menjadi bagian dari 320 penutupan yang terjadi hanya pada bulan Juli 2025.

Bahkan, krisis ini juga menyeret nama-nama besar seperti Prive Group, yang menutup semua restorannya pada 31 Agustus bulan yang mencatat 360 penutupan F&B. Mirisnya lagi, mantan pemilik restoran, Chua Ee Chien, menuturkan bahwa bahkan dua restoran yang masuk dalam daftar prestisius Michelin Guide Singapura pun terpaksa gulung tikar. 

“Bahkan restoran yang paling sehat pun tidak dapat bertahan hidup saat ini,” katanya.

Bagi banyak pemilik, termasuk Ka-Soh, kenaikan biaya sewa properti menjadi pemicu utama keruntuhan bisnis. Terence Yow, ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF), sebuah organisasi yang mewakili lebih dari 1.000 pemilik usaha F&B dan bisnis lainnya, melaporkan adanya kenaikan sewa antara 20 hingga 49 persen di antara anggotanya. 

“Ini sesuatu yang belum pernah kita lihat selama 15, 20 tahun terakhir,” tutur Yow, menggambarkan lonjakan biaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kenaikan sewa ini dipicu oleh tren baru di pasar properti Singapura. Rumah toko (ruko), lokasi ideal bagi banyak bisnis F&B independen, menjadi properti yang sangat diminati oleh investor lokal maupun asing. Hal ini terjadi di tengah langkah pendinginan baru-baru ini oleh pemerintah untuk pembelian properti hunian. Konsekuensinya, investor berekspektasi tinggi terhadap imbal hasil sewa.

Ethan Hsu dari Knight Frank Singapura memberikan perspektif yang lebih luas. Ia menjelaskan bahwa kenaikan sewa tidak terjadi dalam ruang hampa. Pemilik properti juga menghadapi tekanan biaya. Hsu menyebutkan bahwa biaya konstruksi telah melonjak sekitar 30 persen, dan biaya pemeliharaan setidaknya 10 persen. 

“Banyak orang terpaku pada gagasan tentang pemilik properti yang serakah. Kenyataannya, sewa hanyalah salah satu komponen biaya yang dihadapi penyewa,” jelasnya, menekankan bahwa kenaikan harga properti di Singapura bersifat menyeluruh.

Selain sewa, dua faktor lain yang secara bersamaan menghantam sektor F&B adalah krisis tenaga kerja dan perubahan drastis dalam perilaku konsumen. Di Burp Kitchen & Bar, pemiliknya menghadapi titik kritis akibat meningkatnya biaya tenaga kerja ditambah dengan penurunan permintaan.

Pemain besar di industri ini dengan kantong tebal berlomba-lomba menggandakan gaji normal untuk mengamankan staf yang makin sedikit. Restoran kecil seperti Burp Kitchen hanya bisa bertahan sebentar, bahkan setelah menaikkan gaji dan memangkas jam operasional.

Asosiasi Restoran Singapura telah membunyikan alarm tentang krisis tenaga kerja serius sejak Maret lalu dan menyerukan peninjauan kuota pekerja asing. Namun, pihak berwenang di Singapura melihat krisis ini sebagai masalah kelebihan pasokan pasar F&B secara keseluruhan.

Singapura dipenuhi hampir 23.600 gerai makanan ritel tahun lalu, melonjak tajam dari hampir 17.200 pada tahun 2016. Meskipun 3.047 bisnis tutup, hampir 3.800 bisnis baru dibuka, menunjukkan bahwa pemain besar atau jaringan restoran berkantong tebal justru menyingkirkan gerai independen kecil.

Data dari Badan Pusat Statistik pada Juni 2025 memvalidasi krisis ini: omzet restoran menurun sebesar 5,6 persen, sementara katering dan gerai makanan cepat saji justru mengalami peningkatan penjualan tahunan. 

“Kami mengamati perubahan drastis dalam perilaku pelanggan, Frekuensi kunjungan pelanggan turun dari tiga, empat kali seminggu menjadi mungkin sebulan sekali.” kata Ronald Chye, salah satu pemilik Burp Kitchen, merujuk pada penurunan pengeluaran, Sarah Lim, istri sekaligus pemilik Burp Kitchen.

Fenomena ini diperparah dengan peran media sosial yang kini mendominasi pilihan kuliner. Lebih dari separuh warga Singapura, termasuk 59 persen Gen Z, mengandalkan media sosial untuk menemukan restoran baru.

Pemilik kafe kecil seperti Christopher Lim, 62 tahun, yang mengelola Marie’s Lapis Cafe, terpaksa menjual rumahnya dan mencairkan tabungan untuk bertahan hidup. Namun, setelah dibimbing untuk mempertajam kehadiran online dan memanfaatkan influencer, bisnisnya melonjak 30 hingga 40 persen.

Meskipun digitalisasi membantu, Anggota Parlemen Edward Chia, mantan pemilik F&B, menyerukan peningkatan jangka pendek kuota pekerja asing sambil mendorong usaha kecil untuk meningkatkan produktivitas melalui solusi teknologi dan manajemen sumber daya manusia yang hemat biaya.

Sementara itu, kelompok penyewa seperti SGTUFF terus melobi untuk sewa yang lebih adil yang dipatok pada inflasi atau pertumbuhan PDB, demi mencegah kenaikan harga sewa yang tiba-tiba dan besar yang dapat menghancurkan upaya bisnis yang telah dibangun bertahun-tahun.

(Redaksi)

Show More
Back to top button