Peristiwa tersebut, kata Thomas, membuat pancaran sinar ultraviolet yang meningkat langsung mempengaruhi ionosfer di kawasan Eropa dan Afrika yang sedang mengalami siang hari.Adapun, ionosfer adalah salah satu lapisan pelindung Bumi atau atmosfer yang molekulnya mengalami ionasi.
“Ionosfer yang terganggu tersebut menyebabkan terputusnya komunikasi radio gelombang pendek,” jelas Thomas.
Berdasarkan prakiraan cuaca antariksa BRIN pada Jumat (4/10/2024) hingga Sabtu (5/10/2024), telah terjadi sembilan flare. Jumlah tersebut terdiri dari dua flare kelas C, enam flare kelas M, dan satu flare kelas X.
Dampak badai Matahari lainnya Meski tidak berdampak secara signifikan di wilayah Indonesia, beberapa negara Eropa mengalami dampak badai Matahari yang ditandai dengan kemunculan aurora.
Aurora adalah fenomena cahaya alami berkilauan di langit yang bergerak secara lembut seperti tirai tertiup angin. Dilansir dari BBC, Jumat (4/10/2024), aurora yang timbul akibat potensi lontaran CME terjadi di Skotlandia, Irlandia Utara, dan beberapa bagian di Inggris utara.
Manajer Cuaca Antariksa Layanan Meteorologi Inggris (Met Office) Krista Hammond mengatakan, lontaran CME kedua akan menghantam Bumi pada Sabtu (5/10/2024) dan Minggu (6/10/2024). Fenomena tersebut memungkinkan peningkatan visibilitas aurora terjadi lebih jauh ke selatan di seluruh Inggris tengah dan garis lintang yang sama. Selain wilayah Eropa, kemunculan aurora akibat peningkatan aktivitas Matahari juga terjadi di Amerika Serikat (AS), tepatnya di Oregon.
(Redaksi)