Daripada mereka kesulitan mendapatkan rempah-rempah, lebih baik mereka menjalin hubungan yang baik dengan Kerajaan Buton.
"Lihat saja banyak benteng-benteng di Buton yang modelnya seperti benteng Belanda. Itu dibuatnya dibantu mereka. Bukan untuk berperang, hanya untuk memantau kapal-kapal saja,"
jelas Zainudin.
Konon, dulu Buton merupakan sebuah negara sendiri, jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia.
Kerajaan Buton dulu sudah memiliki sistem pemerintahan yang terdiri dari raja, perdana menteri, tentara, dan rakyat seperti negara monarki.
Kerajaan Buton berusaha membangun relasi yang baik kepada kapal-kapal dari negara asing yang melintasi wilayah perairannya.
Pun mereka memantau pergerakan bajak laut dan angkat senjata untuk mengusirnya.
Kerajaan Buton pun berganti nama menjadi Kesultanan Buton sejak pemerintahan Murhum Sultan Kamuddin Khalifatul Khamis di tahun 1538.
Hal itu seiring dengan masuknya Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab yang datang ke Buton.
Sebagai informasi, agama Islam masuk ke Buton dibawa oleh seorang ulama berkebangsaan Arab yang berasal dari Semenanjung Melayu (Johar) bernama Syeikh Abdul Wahid.
Menurut catatan sejarah, Islam mulai masuk di Buton awal abad ke-16, tepatnya tahun 1511.
Sumber lain bahkan menyebutkan Islam sudah masuk ke Buton jauh sebelumnya, namun pada saat itu masyarakat Buton masih kuat meyakini agama yang dianutnya.
Kedatangan Syeikh Abdul Wahid menjadikan pengaruh Islam semakin kuat di Buton.
Berdasarkan teori Islamisasi yang dijelaskan oleh para ahli, Islam yang masuk ke Buton menjadi kekuatan sosial terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi kekuatan politik.
Mulanya, di ajaran Islam diajarkan di kalangan keluarga dan kerabat dengan dengan cara menjalankan beberapa kewajiban agama.
Selain itu, agama Islam juga diajarkan melalui pemberian contoh tingkah laku yang baik untuk ditiru dan diteladani.