Konsepsi kekuasaan pada Jawa tradisional juga memiliki konsekuensi terhadap struktur proses sejarah. Jika menurut perspektif Barat modern, sejarah dipandang sebagai suatu runtutan peristiwa yang berjalan searah garis waktu namun dalam pandangan Jawa tradisional sejarah merupakan gerakan yang melingkar yang terjadi secara berulang-ulang dengan urutan historis: terpusat – terpancar – terpusat – terpancar keadaan ini akan terus berulang tanpa ada hentinya.
Adapun mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, pandangan tradisional memandang pentingnya kekuasaan yang terpusat. Keadaan ini diibaratkan dengan sorotan cahaya lampu yang semakin meredup secara tidak terputus-putus ketika semakin jauh sumber cahaya tersebut. Keadaan inilah yang menggambarkan tidak hanya struktur negara saja, melainkan pula hubungan antara pusat dan daerah. Hal inilah yang kemudian dapat menjelaskan mengenai penentangan Soekarno terhadap sistem parlementer dan federalisme sebab menurutnya dan sejalan dengan konsepsi tradisional, terpencar-pencarnya kekuasaan akan mengakibatkan penurunan kekuasaan sehingga kesejahteraan masyarakat dilihat dari sejauh mana kemampuan pusat untuk memusatkan kekuasaan.
Kondisi ini juga mempengaruhi antara hubungan penguasa dan rakyat, gusti dan kawulo, priyayi dan kaum tani. Pandangan Jawa tradisional tidak menganggap adanya perjanjian sosial (social contract) di mana ada kewajiban timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai berdasarkan perjanjian ini. Adapun yang menjadi logika dasar bagi hubungan penguasa dan bawahan adalah gagasan noblesse oblige (kebangsawanan harus sembada dan wajib mengabdi). Konsep tradisional lebih menekankan adanya kesadaran secara pribadi bagi seorang penguasa untuk bersikap baik terhadap bawahannya dan bukan dikarenakan konsekuensi sebuah perjanjian sosial.
Terkait dengan etika, pandangan Jawa tradisional melihat bahwa sikap yang harus dimiliki oleh para pejabat adalah sikap tanpa pamrih, yakni menahan diri terhadap pemuasan motif-motif pribadi dan juga bekerja keras demi kepentingan negara tanpa mengharapkan keuntungan pribadi. Berdasarkan konsep pamrih ini, dapat dipahami konsep pemikiran orang Jawa tradisional terhadap akumulasi kekayaan. Bagi kebanyakan orang Jawa tradisional, meskipun kekayaan berkorelasi dengan kekuasaan namun kekayaan bukanlah tujuan dari dicapainya kekuasaan itu. Masyarakat Jawa sangat menganggap rendah pemimpin-pemimpin yang hanya mengeruk keuntungan pribadi dan memperkaya diri dalam kekuasaan yang dimilikinya. Dalam tradisi Jawa jelas digariskan bahwa kekayaan sudah pasti mengikuti kekuasaan dan bukan kekuasaan yang mengikuti kekayaan.
Korelasi antara kepemimpinan dan etika pamrih dapat dilihat ketika jatuhnya Soekarno dari kursi kepresidenan. Isu yang paling mencolok yang digulirkan kala itu adalah isu pamrihnya presiden dalam bentuk korupsi yang dilakukannya dan juga penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Meski tidak ada perjanjian sosial antara penguasa dengan rakyat, menurut pandangan tradisioanal, penguasa harus berkelakuan baik. Jika tidak, kekuasaan akan surut atau lenyap. Jika hal ini terjadi maka akan hilanglah tatanan yang baik serta kelancaran dalam sistem sosial.
Secara umum tulisan Ben Anderson dapat dikatakan mampu menggambarkan dengan baik mengenai gagasan kekuasaan Jawa tradisional. Anderson juga dengan sangat baik menganalisis dan mengkorelasikan gagasan tersebut dengan fenomena kekinian, seperti alasan mengenai perilaku Soekarno yang berulangkali menyatakan memiliki garis keturunan langsung dengan penguasa-penguasa ternama di masa silam. Anderson melihatnya sebagai sebuah perilaku untuk mempertahankan kekuasaan berdasarkan tradisi Jawa.
(Redaksi)