“Kalau kita ingin mengkaji tentang silsilahnya, beliau ini masih cucu dari Imam Besar Abdul Qodir Jaelani dari pihak ibu. Beliau datang ke Buton dengan menyiarkan agama Islam pada masa Raja Rajamulae yang merupakan raja kelima di Kerajaan Buton,” lanjutnya.
Namun saat menyiarkan agama Islam kala itu, lanjut Arsal, Syekh Abdul Wahid dituding sebagai pemecah kalangan Kerajaan Buton.
Mulai dari Rajamulae hingga perangkat Kerajaan Buton kacau.
Menurutnya, kekacauan itu karena ajaran Islam yang dibawa untuk menyiarkan agama dirasa bertentangan dengan kerajaan.
“Tapi karena syariat Islam yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahid, maka kondisi di kerajaan Buton itu terpecah antara kerajaan dan seluruh perangkatnya,” ujar Imam Besar Masjid Islamic Center La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin itu.
Kerjaan kemudian dengan tegas menolak ajaran Islam yang dibawa tersebut dan mengusir Syekh Abdul Wahid dari Tanah Buton.
Ia kemudian pasrah dan pergi meninggalkan Tanah Buton.
“Kerajaan kurang kondusif, lalu istana melakukan pengusiran terhadap beliau. Karena beliau adalah seorang ulama yang memiliki karomah tentu dia diperlakukan seperti itu, maka dia mengikut saja untuk pergi,” terangnya.
Dalam berbagai riwayat, kata Arsal, Syekh Abdul Wahid menuju Wameo.
Di tempat itu, ia memecahkan batu menjadi dua sebagai pijakan dan penanda bahwa tempat itu merupakan titik terakhir menghilangkan diri untuk pergi menuntut ilmu lebih dalam lagi.
“Ketika dia menuju suatu tempat yang dinamakan Wameo, maka di tempat itu beliau ingin meninggalkan Pulau Buton dengan mengambil batu yang dipecahkan menjadi dua untuk menjadi pijakannya,” ungkap dia.
“Kemudian batu itu atas izin Allah bisa terapung dan menjadikan sebagai kapal dan sorbannya sebagai layar. Jadi Batu Poaro itu tempat hilangnya pertama pergi memperdalam lagi ilmunya di Gresik, Johor, dan Madinah,” lanjutnya.
Dalam masa menuntut ilmu, Syekh Abdul Wahid diberi pesan oleh Syekh Makkah untuk kembali ke tanah Buton dan memberikan gelar raja yang memimpin sebagai Sultan.