IDENESIA.CO - Setelah 13 tahun perang saudara dan lebih dari 50 tahun pemerintahan brutal keluarga Presiden Bashar al Assad diruntuhkan oleh pemberontak di Suriah.
Menurut laporan Reuters, Para pemberontak merebut ibu kota Damaskus, Pergerakan cepat aliansi milisi yang dipelopori oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang merupakan mantan afiliasi al Qaeda, menandai salah satu titik balik terbesar bagi Timur Tengah dalam beberapa generasi. Kejatuhan Assad menghancurkan benteng pertahanan yang menjadi tempat Iran dan Rusia menggunakan pengaruhnya di seluruh dunia Arab.
Moskow memberikan suaka kepada Assad dan keluarganya melarikan diri ke Rusia, media Rusia melaporkan dan Mikhail Ulyanov, duta besar Rusia untuk organisasi-organisasi internasional di Wina, mengatakan di saluran Telegram-nya pada Minggu.
Pidato Kemenangan Al Julani, Pemimpin Pemberontak Suriah yang Usir Bashar Al Assad
Pemerintah-pemerintah internasional menyambut baik berakhirnya pemerintahan otokratis Assad, karena mereka berusaha untuk membangun sebuah Timur Tengah yang baru.
Bernama Abu Mohammed al-Julani, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok yang telah menjadi kekuatan oposisi bersenjata paling kuat di Suriah yang meruntuhkan kepemimpinan Bashar Al-Assad.
Sebagai pendiri HTS, al Julani selama hampir satu dekade berusaha memisahkan diri dari angkatan bersenjata lain dan fokus mereka pada operasi transnasional, dan beralih untuk fokus pada penciptaan "republik Islam" di Suriah.
Sejak 2016, ia telah memosisikan dirinya dan kelompoknya sebagai pengurus yang kredibel untuk Suriah yang telah dibebaskan dari al Assad, yang secara brutal menindas pemberontakan rakyat selama Arab Spring pada 2011, yang mengarah ke perang yang telah berlangsung sejak saat itu.
HTS menjalankan pemerintahan di Idlib melalui Pemerintah Keselamatan Suriah, yang didirikan pada 2017 untuk menyediakan layanan sipil, pendidikan, perawatan kesehatan, peradilan dan infrastruktur, serta mengelola keuangan dan distribusi bantuan.
Namun, HTS juga memerintah dengan tangan besi dan tidak mentolerir perbedaan pendapat, menurut para aktivis, laporan berita, dan pemantau lokal.
Organisasi jurnalisme independen, Syria Direct, melaporkan bahwa HTS berada di balik penghilangan paksa para aktivis dan telah menembakkan peluru tajam ke arah para pengunjuk rasa yang menuduh kelompok itu menolak memberikan layanan kepada masyarakat yang menentangnya.
Masa Lalu
Al Julani lahir dengan nama Ahmed Hussein al-Sharaa pada 1982 di Riyadh, Arab Saudi, tempat ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan. Keluarganya kembali ke Suriah pada tahun 1989, dan menetap di dekat Damaskus.
Tidak banyak yang diketahui tentang masa-masa di Damaskus sebelum kepindahannya pada 2003 ke Irak, di mana ia bergabung dengan Al Qaeda di Irak sebagai bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat pada tahun yang sama.
Ditangkap oleh pasukan AS di Irak pada 2006 dan ditahan selama lima tahun, al Julani kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra, yang mengembangkan pengaruhnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh oposisi, terutama di Idlib.
Al Julani berkoordinasi pada tahun-tahun awal dengan Abu Bakr al-Baghdadi, kepala "Negara Islam di Irak" al-Qaeda, yang kemudian menjadi ISIL (ISIS).
Pada April 2013, al-Baghdadi tiba-tiba mengumumkan bahwa kelompoknya memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan akan berekspansi ke Suriah, yang secara efektif melebur Front al-Nusra ke dalam sebuah kelompok baru yang disebut ISIL.
Al Julani menolak perubahan ini, mempertahankan kesetiaannya kepada al-Qaeda.
Dalam wawancara televisi pertamanya di 2014, ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang "hukum Islam" dan kaum minoritas di negara itu, seperti orang Kristen dan Alawi, tidak akan diakomodasi.
Pada tahun-tahun berikutnya, al Julani tampaknya menjauhkan diri dari proyek al Qaeda untuk membangun "kekhalifahan global" di semua negara berpenduduk mayoritas Muslim, dan tampaknya lebih fokus untuk membangun kelompoknya di dalam perbatasan Suriah.
Perpecahan ini tampaknya merupakan upaya, menurut para analis, untuk menekankan ambisi nasional kelompoknya, bukan ambisi transnasional, kepada kelompok-kelompok di Idlib.
Kemudian pada Juli 2016, Aleppo jatuh ke tangan rezim dan kelompok-kelompok bersenjata di sana mulai bergerak ke Idlib, yang masih dikuasai oposisi. Sekitar waktu yang sama, al Julani mengumumkan bahwa kelompoknya telah berubah menjadi Jabhat Fateh al-Sham.
Pada awal 2017, ribuan pejuang mengalir ke Idlib yang melarikan diri dari Aleppo dan al Julani mengumumkan penggabungan sejumlah kelompok tersebut dengan kelompoknya untuk membentuk HTS.
Tujuan HTS adalah untuk membebaskan Suriah dari pemerintahan otokratis Assad, "mengusir milisi Iran" dari negara itu dan mendirikan negara menurut interpretasi mereka sendiri atas "hukum Islam", menurut lembaga think-tank Centre for Strategic and International Studies di Washington DC.
Masa Depan
Ketika para pejuang oposisi merebut kembali Aleppo dan bergerak ke selatan, al Julani tampaknya mengambil sikap yang lebih akomodatif terhadap minoritas Suriah.
Sejak merebut Aleppo, kelompok ini telah memberikan jaminan bahwa agama dan etnis minoritas akan dilindungi.
Para pejuang menembaki pasukan Angkatan Darat Suriah di distrik Rashidin di pinggiran Aleppo pada 29 November 2024
Menurut Hassan Hassan, seorang ahli Suriah tentang kelompok-kelompok bersenjata di Levant, al Julani ingin mencap HTS sebagai entitas pemerintahan yang kredibel di Suriah dan mitra yang mungkin dalam upaya kontraterorisme global.
Di Idlib, ia berusaha untuk bermitra dengan kelompok-kelompok oposisi bersenjata lainnya, seperti Harakat Nour al-Din al-Zinki, Liwa al-Haq, dan Jaysh al-Sunna, menurut CSIS, dan menghindari sekutu-sekutu lama, seperti Hurras al-Din, cabang al Qaeda yang baru di Suriah.
HTS saat ini dicap sebagai organisasi "teroris" oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Turki, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Al Julani mengatakan bahwa pelabelan ini tidak adil karena kelompoknya telah meninggalkan kesetiaan masa lalunya dan memilih kesetiaan nasional.
Terlepas dari ambisi domestik yang dinyatakan oleh al Julani, sebagai kepala kelompok oposisi bersenjata terbesar di Suriah, dampaknya terhadap negara itu akan bergema secara nasional dan internasional.
(Redaksi)