Ia juga mengambil alih posisi sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Suriah dan Sekretaris Jenderal Partai Ba'ath Sosialis Arab.
Meskipun awalnya ada harapan bahwa ia akan memodernisasi dan mereformasi Suriah, namun pada kenyataannya periode awal kekuasaan Bashar yang dikenal sebagai Damaskus Spring, dengan cepat berakhir dengan tindakan represif dan otoriter terhadap aktivis dan tokoh oposisi pada tahun 2001-2002.
Referendum pada tahun 2000 dan 2007 mengukuhkan Assad sebagai presiden dengan tingkat dukungan yang dilaporkan mencapai lebih dari 97%, meskipun proses pemilu tersebut secara luas dianggap tidak demokratis.
Kepemimpinan otoriter dan perang saudara di Suriah
Banyak analis mengecap rezim Assad sebagai kediktatoran. Assad memerintah Suriah sebagai negara totaliter, dengan mengandalkan aparat keamanan dan propaganda yang masif. Rezimnya sering kali dieksploitasi ketegangan sektarian untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada tahun 2011, ketika gelombang Arab Spring melanda Timur Tengah, demonstrasi anti-pemerintah di Suriah berubah menjadi konflik bersenjata setelah tindakan keras aparat keamanan. Perang saudara yang berkepanjangan mengakibatkan lebih dari 580.000 orang tewas, dengan mayoritas korban adalah warga sipil. Rezim Assad dituduh melakukan berbagai kejahatan perang, termasuk penggunaan senjata kimia dalam beberapa serangan mematikan, seperti serangan gas sarin di Ghouta pada tahun 2013.
Runtuhnya rezim Assad
Setelah bertahun-tahun bertahan dari berbagai tekanan internasional dan konflik internal, rezim Assad akhirnya runtuh pada Desember 2024. Serangan besar-besaran oleh oposisi Suriah, yang dipimpin oleh koalisi kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan didukung oleh Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki, berhasil merebut kota Damaskus pada 8 Desember 2024. Assad dan keluarganya kemudian melarikan diri ke Rusia, di mana ia diberikan suaka politik oleh pemerintah Moskow.