IDENESIA.CO - Kelompok The Satanic Temple (TST) akan menggelar pertemuan pemuja setan yang diklaim terbesar sepanjang sejarah.
Acara itu bakal digelar di Amerika Serikat.
Bertajuk SatanCon 2023, pertemuan itu akan digelar di Boston, Massachusetts, dalam rangka hari jadi TST ke-10 pada 28-30 April mendatang.
"Pertemuan pengikut setan terbesar dalam sejarah digelar di Boston pada 28-30 April," demikian tulisan di video promosi yang diunggah TST di Instagram.
Berdasarkan pengumuman itu,SatanCon akan diramaikan dengan "presentasi ritual setan, panel diskusi, dan pasar."
TST tak mengungkap secara jelas lokasinya. Mereka hanya menyebut lokasi di "historic downtown." Selain itu, presenter hingga vendor acara itu juga masih akan diumumkan di kemudian hari.
Mereka juga menegaskan bahwa peserta SatanCon harus berusia 18 tahun ke atas dan memiliki bukti vaksinasi Covid-19.
"Peserta harus memakai masker N-95, KN-95, atau masker operasi sekali pakai. Masker dari pelindung kaki, bandana, dan masker kain tak diperbolehkan," tulis TST.
Russia Today melaporkan bahwa ini merupakan kali kedua TST menggelar SatanCon. Mereka menggelar SatanCon perdana pada tahun lalu di Arizona.
TST mengklaim memiliki 2.500 anggota di daerah tempat SatanCon digelar tahun ini, Boston.
Misi resmi mereka adalah "mendorong kebajikan dan empati di antara semua orang, menolak otoritas tirani, mendukung keadilan dan akal sehat praktis, serta diarahkan oleh hati nurani untuk melakukan hal mulia."
Mereka juga sempat mendeklarasikan aborsi merupakan hak religius yang fundamental. TST menegaskan bahwa semua hukum yang melarang praktik aborsi sangat mendiskriminasi anggotanya.
Selain itu, TST dikenal sebagai kelompok yang kerap mengajukan tuntutan jika pihak berwenang menolak permintaan mereka untuk menggelar doa atau mendirikan patung berbau setan.
Mereka menganggap penolakan itu sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama.
Setelah TST menyedot perhatian internasional karena advokasi yang mereka lakukan, Gereja Setan menyatakan kelompok itu "merupakan kelompok aktivis yang menggunakan bahasa berbau skandal untuk mendapatkan perhatian pers."
(REDAKSI)