Jumat, 5 Juli 2024

Asal-usul dan Sejarah

Menelusuri Asal-usul Saminisme dan Ajarannya di Indonesia, Dikenal Sebagai Gerakan Penentang Kolonialisme di Blora

Saking Takutnya, Belanda Asingkan Samin Surosentiko ke Padang

Kamis, 23 Desember 2021 20:44

Houtvester (pengelolan hutan) tengah berpose di sekitar houtvesterij Randoeblatoeng, Blora pada tahun 1916. (Christoffel Hendrik/Wikimedia Commons)

"Masyarakat Samin menganggap bahwa manusia diciptakan setara, tidak ada yang mengungguli satu sama lain, sehingga menolak adanya perbedaan dalam masyarakat dan menolak adanya penjajahan," tulis Trisnova.

Aktualisasi kebebasan itu juga muncul saat masyarakat menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah.

Ajaran Saminisme agaknya mulai menyebar luas, tidak hanya di Klopo Duwur, tapi juga merebak hingga hampir seluruh wilayah Randoeblatoeng.

Kebebasan versi Samin turut memengaruhi sikap sosial masyarakat pendukungnya.

Sikapnya terlihat pada penggunaan bahasa dan pakaian penganut saminis.

"Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko," lanjutnya.

"Pakaian orang Samin biasanya terdiri atas baju lengan panjang tanpa kerah dan berwarna hitam," sambungnya.

Sampai pada tahun 1906, Saminisme dianggap sebagai sekte keagamaan yang tak membahayakan pemerintah kolonial.

Namun, antusias masyarakat yang memeluk kepercayaan terhadap Samin, membuat Belanda menjadi khawatir.

Beberapa wilayah seperti Pati, Madiun, Grobogan, Bojonegoro, dan Tuban terdampak pengaruhnya, mendorong bertambahnya penganut Saminis.

Isu yang berhembus ke telinga pemerintah, bahwa Saminis yang menguat, akan memberontak pada Maret 1907.

Kepanikan pemerintah kolonial akan tersiarnya kabar tersebut memunculkan tindakan agresif pemerintah.

Gerakan Saminisme akhirnya dilarang oleh Belanda, dan pemimpinnya, Samin Surosentiko, ditangkap dan diasingkan ke Padang hingga akhir hayatnya.

Memasuki era modern, para pengikut Samin lebih suka menyebut dirinya dengan Sedulur Singkep atau Wong Singkep.

"Mereka tak lagi menggunakan istilah Samin, karena adanya perubahan makna Samin di dalam pemahaman masyarakat sekarang ini," lanjut Trisnova.

"Samin dipahami sebagai sosok yang negatif, cenderung dengan kekonyolan, irasional, bodoh, terbelakang, atau bahkan gila," pungkasnya.

Sejarah kolonial juga mencatat demikian, meski dalam perspektif masyarakat lokal di Blora, menganggap Samin adalah tokoh yang berpengaruh di zamannya. (redaksi)

Halaman 
Tag berita:
IDEhabitat