Minggu, 7 Juli 2024

Mengingat Perjuangan Syekh Abdul Wahid di Tanah Buton, Masyarakat Kerap Gelar Tradisi Batu Poaro

Senin, 12 Desember 2022 15:23

BERDOA: Pemangku agama dan pemerintah setempat sedang melaksanakan ritual Batu Poaro di Kelurahan Tarafu, Kecamatan Batu Poaro, Kota Baubau/ Foto: Pemkot Baubau

“Ketika di Makkah, beliau diminta oleh seorang Syekh untuk memberi gelar raja di Buton dengan Sultan,” ungkap dia.

Setelah kurang lebih 12 tahun pergi, Arsal membeberkan beliau kembali ke tanah Buton sekitar tahun 1538 Masehi.

Namun saat itu sistem kerajaan sudah berganti menjadi Kesultanan dan dipimpin oleh Lakilaponto atau Sultan Murhum sebagai Sultan pertama.

“Jadi bukan lagi Raja Rajamulae seperti pertama kali menginjakkan kaki di Buton,” bebernya.

Sultan Murhum saat itu merasa ajaran yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahid sangat penting untuk keberlangsungan Kesultanan yang dipimpinnya.

Sultan Murhum kemudian menerima ajaran tersebut. Arsal menjelaskan gelar yang diamanahkan gurunya di Makkah dianugerahkan kepada Lakilaponto.

“Karena begitu pentingnya syariat Islam yang dibawa oleh beliau, maka secara langsung diterima oleh Sultan Murhum dan seluruh perangkat Kesultanan Buton saat itu. Kemudian beliau menobatkan sebagai Al-Sultan Murhum Muhammad Idrus Kaimuddin. Termasuk bendera Kesultanan Buton juga ada aksara Al-Sultan,” jelas dia.

Arsal mengungkapkan hingga saat ini, masyarakat Buton khususnya Kota Baubau terus melaksanakan tradisi tersebut. Setiap tahunnya, tradisi itu cukup ramai dihadiri masyarakat umum.

“Alasan sampai saat ini tradisi itu masih dilakukan karena akan menjadi sebuah pengetahuan sebagai tapak tilas bahwa sejarah perkembangan agama Islam di Buton ini dibawa oleh Syekh Abdul Wahid,” ungkap dia.

Dalam proses ritual tersebut, para pemangku adat dan tokoh agama setempat akan membacakan riwayat dan sejarah kehadiran Syekh Abdul Wahid dalam menyiarkan agama Islam di Buton

“Dalam ritual tradisi itu dibacakan sejarah perkembangan Islam di Pulau Buton jadi itu adalah pembelajaran seluruh masyarakat termasuk Pemerintah Kota Baubau dan perangkat masjid agar lebih memahami lagi tentang bagaimana kilas balik pengembangan agama Islam di Buton. Jadi semua masyarakat dan pemerintah bersatu padu melestarikan dan mengenang tradisi tersebut,” ujar dia.

Saat tradisi ini berlangsung masyarakat dan pemerintah menyediakan sedekah berupa makanan-makanan tradisional yang disimpan di atas talang untuk mengundang seluruh lapisan masyarakat yang datang menyaksikan tradisi itu.

Kemudian tokoh agama menjalankan ritual tradisi itu dengan pembacaan doa yang dipanjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar seluruh masyarakat Buton dan Baubau ini diberikan keberkahan hidup kalau misalnya ada penyakit yang melanda supaya bisa diangkat, dijauhkan seluruh malapetaka yang menimpa dan terpenting adalah bagaimana seluruh hajat masyarakat terkabulkan. (redaksi)

Halaman 
Tag berita:
Berita terkait
IDEhabitat