Kamis, 5 Desember 2024

Mengingat Perjuangan Syekh Abdul Wahid di Tanah Buton, Masyarakat Kerap Gelar Tradisi Batu Poaro

Senin, 12 Desember 2022 15:23

BERDOA: Pemangku agama dan pemerintah setempat sedang melaksanakan ritual Batu Poaro di Kelurahan Tarafu, Kecamatan Batu Poaro, Kota Baubau/ Foto: Pemkot Baubau

IDENESIA.CO -  Mengenal tradisi Batu Poaro.

Tradisi Batu Poaro merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Buton secara turun-temurun.

Lalu apa itu tradisi Batu Poaro?

Menurut Kapitalao Matana eyo atau Panglima Bagian Timur Kesultanan Buton La Ode Muhammad Arsal, tradisi Batu Poaro merupakan cara masyarakat Kesultanan Buton untuk mengingat kembali perjuangan Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam pertama di tanah Kesultanan Buton.

Syekh Abdul Wahid juga diketahui merupakan orang pertama yang mengajarkan Lakilaponto atau Sultan Murhum tentang Islam.

Kemudian dijadikannya sebagai murid untuk menyebarkan agama Islam di tanah Buton.

“Sebenarnya kalau kita bicara tentang Batu Poaro ini merupakan situs, simbol dan tradisi yang menggambarkan tentang keberadaan seorang penyiar agama Islam di Buton, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani,” ujar Arsal dikutip dari Kendariinfo, Rabu (12/10/2022).

Lebih lanjut, Arsal menjelaskan Batu Poaro merupakan batu petilasan Syekh Abdul Wahid sesaat setelah meninggalkan Pulau Buton dengan cara menghilangkan diri.

Kemudian batu petilasan tersebut sebagai bukti karomah Syekh Abdul Wahid yang dipercaya masyarakat Buton yang terletak di wilayah pesisir Kelurahan Wameo, Kecamatan Batu Poaro, persis berada di sisi Masjid Islamic Center La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin.

“Ini merupakan batu petilasan tempat terakhir pijakan daripada Syekh Abdul Wahid sebelum meninggalkan Pulau Buton menghilang Samudra laut Buton yang begitu luas,” jelasnya.

Dilansir dari berbagai sumber,  Syekh Abdul Wahid mulai datang pertama kali ke Pulau Buton sekitar tahun 936 Hijriah atau 1526 Masehi.

Ia datang dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam di masa kerajaan Buton Rajamulae.

“Beliau dulu berada di Pulau Buton untuk menyiarkan agama Islam sekitar tahun 1526 Masehi,” ujarnya.

“Kalau kita ingin mengkaji tentang silsilahnya, beliau ini masih cucu dari Imam Besar Abdul Qodir Jaelani dari pihak ibu. Beliau datang ke Buton dengan menyiarkan agama Islam pada masa Raja Rajamulae yang merupakan raja kelima di Kerajaan Buton,” lanjutnya.

Namun saat menyiarkan agama Islam kala itu, lanjut Arsal, Syekh Abdul Wahid dituding sebagai pemecah kalangan Kerajaan Buton.

Mulai dari Rajamulae hingga perangkat Kerajaan Buton kacau.

Menurutnya, kekacauan itu karena ajaran Islam yang dibawa untuk menyiarkan agama dirasa bertentangan dengan kerajaan.

“Tapi karena syariat Islam yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahid, maka kondisi di kerajaan Buton itu terpecah antara kerajaan dan seluruh perangkatnya,” ujar Imam Besar Masjid Islamic Center La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin itu.

Kerjaan kemudian dengan tegas menolak ajaran Islam yang dibawa tersebut dan mengusir Syekh Abdul Wahid dari Tanah Buton.

Ia kemudian pasrah dan pergi meninggalkan Tanah Buton.

“Kerajaan kurang kondusif, lalu istana melakukan pengusiran terhadap beliau. Karena beliau adalah seorang ulama yang memiliki karomah tentu dia diperlakukan seperti itu, maka dia mengikut saja untuk pergi,” terangnya.

Dalam berbagai riwayat, kata Arsal, Syekh Abdul Wahid menuju Wameo.

Di tempat itu, ia memecahkan batu menjadi dua sebagai pijakan dan penanda bahwa tempat itu merupakan titik terakhir menghilangkan diri untuk pergi menuntut ilmu lebih dalam lagi.

“Ketika dia menuju suatu tempat yang dinamakan Wameo, maka di tempat itu beliau ingin meninggalkan Pulau Buton dengan mengambil batu yang dipecahkan menjadi dua untuk menjadi pijakannya,” ungkap dia.

“Kemudian batu itu atas izin Allah bisa terapung dan menjadikan sebagai kapal dan sorbannya sebagai layar. Jadi Batu Poaro itu tempat hilangnya pertama pergi memperdalam lagi ilmunya di Gresik, Johor, dan Madinah,” lanjutnya.

Dalam masa menuntut ilmu, Syekh Abdul Wahid diberi pesan oleh Syekh Makkah untuk kembali ke tanah Buton dan memberikan gelar raja yang memimpin sebagai Sultan.

“Ketika di Makkah, beliau diminta oleh seorang Syekh untuk memberi gelar raja di Buton dengan Sultan,” ungkap dia.

Setelah kurang lebih 12 tahun pergi, Arsal membeberkan beliau kembali ke tanah Buton sekitar tahun 1538 Masehi.

Namun saat itu sistem kerajaan sudah berganti menjadi Kesultanan dan dipimpin oleh Lakilaponto atau Sultan Murhum sebagai Sultan pertama.

“Jadi bukan lagi Raja Rajamulae seperti pertama kali menginjakkan kaki di Buton,” bebernya.

Sultan Murhum saat itu merasa ajaran yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahid sangat penting untuk keberlangsungan Kesultanan yang dipimpinnya.

Sultan Murhum kemudian menerima ajaran tersebut. Arsal menjelaskan gelar yang diamanahkan gurunya di Makkah dianugerahkan kepada Lakilaponto.

“Karena begitu pentingnya syariat Islam yang dibawa oleh beliau, maka secara langsung diterima oleh Sultan Murhum dan seluruh perangkat Kesultanan Buton saat itu. Kemudian beliau menobatkan sebagai Al-Sultan Murhum Muhammad Idrus Kaimuddin. Termasuk bendera Kesultanan Buton juga ada aksara Al-Sultan,” jelas dia.

Arsal mengungkapkan hingga saat ini, masyarakat Buton khususnya Kota Baubau terus melaksanakan tradisi tersebut. Setiap tahunnya, tradisi itu cukup ramai dihadiri masyarakat umum.

“Alasan sampai saat ini tradisi itu masih dilakukan karena akan menjadi sebuah pengetahuan sebagai tapak tilas bahwa sejarah perkembangan agama Islam di Buton ini dibawa oleh Syekh Abdul Wahid,” ungkap dia.

Dalam proses ritual tersebut, para pemangku adat dan tokoh agama setempat akan membacakan riwayat dan sejarah kehadiran Syekh Abdul Wahid dalam menyiarkan agama Islam di Buton

“Dalam ritual tradisi itu dibacakan sejarah perkembangan Islam di Pulau Buton jadi itu adalah pembelajaran seluruh masyarakat termasuk Pemerintah Kota Baubau dan perangkat masjid agar lebih memahami lagi tentang bagaimana kilas balik pengembangan agama Islam di Buton. Jadi semua masyarakat dan pemerintah bersatu padu melestarikan dan mengenang tradisi tersebut,” ujar dia.

Saat tradisi ini berlangsung masyarakat dan pemerintah menyediakan sedekah berupa makanan-makanan tradisional yang disimpan di atas talang untuk mengundang seluruh lapisan masyarakat yang datang menyaksikan tradisi itu.

Kemudian tokoh agama menjalankan ritual tradisi itu dengan pembacaan doa yang dipanjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar seluruh masyarakat Buton dan Baubau ini diberikan keberkahan hidup kalau misalnya ada penyakit yang melanda supaya bisa diangkat, dijauhkan seluruh malapetaka yang menimpa dan terpenting adalah bagaimana seluruh hajat masyarakat terkabulkan. (redaksi)

Tag berita:
Berita terkait
IDEhabitat