Pasalnya, sejak pasukan Sekutu masih di Sangasanga, BPPD diam-diam berlatih menggunakan senjata dan belajar strategi perang untuk berjaga-jaga. Puncaknya, Belanda melakukan pembersihan di Sangasanga dengan mengepung dan menangkap seluruh anggota BPPD pada 31 Desember 1945.
Sepanjang tahun 1946, tentara Belanda menyelidiki segala hal yang dianggap mencurigakan hingga menemukan dokumen tentang rencana perjuangan BPPD.
Semua barang bukti dan para tawanan diperiksa di Markas Militer Belanda. BPPD pun dibubarkan.
Setelah diperiksa, ada tawanan yang dibebaskan, ada pula yang dipindahkan ke penjara di Balikpapan. Mereka yang dipindahkan ke Balikpapan dibebaskan pada 29 Juli 1946 setelah membuat surat pernyataan yang isinya menyatakan tetap setia kepada Belanda.
Pernyataan itu tentu hanya janji palsu yang dibuat demi kebebasan dan dapat meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Meski pengawasan Belanda sangat ketat, masyarakat Sangasanga masih bisa membentuk organisasi perjuangan secara sembunyi-sembunyi.
Tokoh Peristiwa Merah Putih Sangasanga Setelah bebas dari penjara di Balikpapan, beberapa mantan pengurus BPPD kembali ke Sangasanga untuk merencanakan kembali perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Mereka adalah Soekasmo, Margono, Supardi, Basuki, dan Ahmandun, yang membentuk organisasi pengganti BPPD bernama Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI).
BPRI merupakan organisasi perjuangan bawah tanah untuk melawan kedudukan NICA di Sangasanga. Puncak Peristiwa Merah Putih Sangasanga
Setelah melewati tahap perencanaan, BPRI mulai melakukan tindakan sabotase dengan membakar penampungan minyak dan mencuri senjata dari tentara NICA.
Selanjutnya, BPRI berencana melakukan perlawanan terbuka pada 25 Desember 1946, kemudian pada 1 Januari 1947, dan beberapa hari setelahnya, tetapi selalu gagal karena banyaknya mata-mata NICA yang berkeliaran di Sangasanga.