Bahkan beberapa tokoh BPRI ada yang tertangkap dan dieksekusi tentara NICA yang telah mengetahui rahasia perjuangan BPRI.
Meski para tokoh BPRI menjadi buronan NICA, mereka tidak gentar untuk melakukan perlawanan. Dalam keadaan terdesak, para tokoh BPRI mengadakan pertemuan yang menyepakati dilakukannya perlawanan pada 27 Januari 1927
Pertemuan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh BPRI seperti Soekasmo, Habib Abd Muthalib, Sastromihardjo, Habibah, Budiono, Akoeb, dan Herman Runturambi.
Mulai 26 Januari dini hari, para tokoh BPRI bergerak untuk menangkap tokoh-tokoh NICA dan merebut tangsi Belanda. Setelah tangsi direbut, Soekasmo memerintahkan agar bendera Merah Putih dikirbarkan, yang dipimpin oleh Budiono.
Saat itu, Soekasmo memberikan amanat kepada semua pejuang, yang dikenal sebagai amanat Peristiwa Merah Putih Sangasanga.
Isi amanat tersebut adalah agar mereka tetap bersama-sama berjuang mempertahankan Kota Minyak Sangasanga dari kekuasaan Belanda dengan semboyan, "lebih baik mati daripada dijajah oleh Belanda".
Meski Sangasanga telah direbut pada 27 Januari dan bendera Merah Putih berhasil dikibarkan, kota minyak ini kembali direbut Belanda. Karena pertempuran yang tidak seimbang, Soekasmo memerintahkan para pejuang untuk mundur dan bersembunyi di hutan. Pada 30 Januari, para pejuang kembali melawan, meski harus jatuh banyak korban dan gagal mempertahankan Sangasanga dari Belanda.
(Redaksi)