Di masa mempertahankan kemerdekaan RI, Sulianti mengupayakan makanan dan obat-obatan di titik-titik gerilya di Demak hingga Yogyakarta.
Ia juga membentuk laskar Wanita Pembantu Perjuangan (WAPP). Aksinya membuat Sulianti ia sempat ditawan Belanda.
Studi di Luar Negeri dan Beasiswa
Sulianti kelak lanjut belajar di Eropa dan Amerika Serikat sejak 1950. Dari studi ini, ia mendapat sejumlah sertifikasi kesehatan publik.
Kelahiran Karangasem, Bali ini kelak meraih beasiswa World Health Organization (WHO) untuk belajar sistem layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di penjuru Eropa, terutama Inggris.
Ia juga meraih gelar Doctor of Public Health (DrPH) di Tulane University School of Public Health & Tropical Medicine, New Orleans, AS. Disertasinya tentang epidemiologi bakteri E coli.
Berantas Penyakit Menular
Sulianti kelak mengembangkan klinik karantina di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai RS Penyakit Menular dan risetnya saat menjadi Dirjen Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular pada 1967 sekaligus Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional.
Di samping observasi di RS karantina, ia membangun pos kesehatan di berbagai titik.
Berdasarkan observasi lapangan, timnya melahirkan rekomendasi vaksinasi massal, vaksinasi reguler untuk anak usia dini, pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, produksi oralit untuk korban dehidrasi diare, dan perencanaan dan pengendalian kehamilan.
Perannya kelak diganjar penghargaan pembasmian penyakit cacar di dunia oleh WHO.
Sulianti kelak menjadi presiden perempuan kedua di World Health Assembly dan pertama di Indonesia. Ia bergerak di World Health Organization's Expert Committee on Maternal and Child Health, the UN Commission on Community Development in African Countries, hingga Indonesian Women's National Commission.
Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, nama Sulianti diabadikan di RS penyakit menular di Tanjung Priok itu, yang kini menjadi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso.