IDENESIA.CO – Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan agar benar-benar berpihak kepada tenaga kerja lokal. Ia menilai, praktik ketenagakerjaan modern harus menjamin kesejahteraan dan stabilitas sosial masyarakat daerah, bukan sekadar mengikuti tren ekonomi global.
\Andi Harun, menyampaikan pandangannya saat menerima rombongan Komisi IX DPR RI yang melakukan kunjungan kerja ke Kota Samarinda, Senin (10/11/2025). Pertemuan tersebut berlangsung di Ruang Rapat Integritas Inspektorat Kota Samarinda, dan dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI.
Acara ini turut dihadiri oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Samarinda, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta perwakilan serikat buruh dari berbagai daerah di Kalimantan Timur. Forum tersebut membahas sejumlah isu strategis yang diharapkan dapat menjadi masukan dalam proses pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan di tingkat nasional.
Dalam kesempatan itu, Andi Harun menyoroti persoalan outsourcing yang dianggap telah menyimpang dari semangat awal perlindungan tenaga kerja. Ia menegaskan bahwa sistem tersebut seharusnya hanya diterapkan pada pekerjaan penunjang, bukan pada pekerjaan inti perusahaan.
“Kami menyarankan agar outsourcing tidak diterapkan pada pekerjaan inti perusahaan. Hanya pekerjaan penunjang yang boleh dioutsourcingkan. Ini penting untuk melindungi tenaga kerja lokal,” tegas Andi Harun.
Menurutnya, praktik outsourcing yang tidak terkendali telah menciptakan ketidakpastian kerja dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Banyak pekerja inti, kata dia, justru kehilangan hak-hak dasarnya karena status kerja mereka tidak tetap.
“Kalau 60–70 persen tenaga kerja non-manajerial bisa berasal dari tenaga kerja lokal, dan ada porsi memadai untuk level manajerial, stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat pasti meningkat,” jelasnya.
Selain menyoroti soal outsourcing, Andi Harun juga mendorong agar kewenangan pengawasan ketenagakerjaan dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Menurutnya, desentralisasi fungsi pengawasan akan mempercepat penanganan pelanggaran upah minimum, hak lembur, dan jaminan sosial tenaga kerja.
“Selama ini, banyak pelanggaran di lapangan yang sulit ditangani karena kewenangan pengawasan masih tersentralisasi. Pemda seharusnya diberi ruang untuk melakukan pengawasan langsung agar perlindungan terhadap tenaga kerja bisa lebih optimal,” ucapnya.
Dalam forum tersebut, Pemkot Samarinda juga mengusulkan adanya penambahan tiga komponen baru dalam perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yaitu perumahan, transportasi, dan pangan.
Untuk komponen perumahan, Andi Harun mengusulkan agar sewa rumah dihitung berdasarkan nilai rata-rata, bukan minimum, agar lebih mencerminkan kondisi riil di lapangan.
“Kalau hanya berdasarkan nilai minimum, itu terlalu subjektif. Kami usulkan memakai rata-rata sewa rumah di lingkungan pekerja agar lebih adil,” terangnya.
Sementara untuk komponen transportasi, ia menyoroti karakteristik geografis Kalimantan Timur yang masih mengandalkan transportasi sungai dan jarak antarwilayah yang luas, sehingga perlu masuk dalam hitungan biaya hidup pekerja.
Sedangkan dalam komponen pangan, Pemkot Samarinda mengusulkan agar lauk khas daerah seperti ikan haruan (gabus) turut dimasukkan dalam variabel KHL, karena mencerminkan pola konsumsi masyarakat lokal.
Tak hanya itu, Andi Harun juga menegaskan bahwa revisi UU Ketenagakerjaan harus memperhatikan perlindungan bagi pekerja informal dan penyandang disabilitas.
Ia meminta agar pemerintah pusat memastikan adanya lingkungan kerja inklusif dan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar hak-hak kelompok tersebut.
“Kelompok pekerja informal dan disabilitas ini juga bagian dari perekonomian kota. Mereka harus mendapat jaminan sosial dan akses kerja yang setara,” ujarnya.
Menariknya, Andi Harun juga menyoroti fenomena baru dunia kerja digital. Ia mengusulkan agar pekerja sektor digital dan platform daring seperti ojek online, kurir aplikasi, hingga pekerja media daring mendapatkan pengakuan hukum yang setara dengan pekerja konvensional.
Ia memperkenalkan gagasan tentang “hybrid employment model”, yaitu skema hubungan kerja baru yang menggabungkan fleksibilitas pekerja lepas dengan jaminan sosial pekerja tetap.
“Dengan adanya model hybrid ini, mereka akan mendapat pengakuan hukum dan sosial. Ini penting karena mereka juga bagian dari tenaga produktif nasional yang mendukung ekonomi digital,” tegasnya.
Menutup pertemuan, Andi Harun memastikan seluruh masukan dari Pemkot Samarinda, asosiasi pengusaha, serikat buruh, dan instansi teknis akan dikompilasi dalam bentuk dokumen resmi untuk diserahkan kepada Komisi IX DPR RI.
“Dalam satu dua hari ke depan, kami akan menghimpun seluruh masukan ini secara resmi agar terdokumentasi dan bisa menjadi bahan pertimbangan serius dalam pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan di Jakarta,” katanya.
Ia berharap, revisi undang-undang ini tidak sekadar memperbaiki aturan lama, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja yang adil, adaptif, dan inklusif, sesuai dengan perkembangan dunia kerja masa kini.
“Harapan kami, kebijakan baru nanti benar-benar berpihak kepada rakyat dan menyesuaikan dengan perubahan zaman. Tenaga kerja adalah tulang punggung pembangunan daerah dan bangsa,” pungkasnya.
(Redaksi)