IDENESIA.CO – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu kehebohan politik internasional setelah secara terbuka mengklaim bahwa dirinya bertanggung jawab penuh atas serangan besar-besaran Israel terhadap Iran pada 13 Juni lalu. Pernyataan itu bertentangan langsung dengan sikap resmi pemerintahan AS pada hari-hari awal pascaserangan yang menyatakan bahwa Israel bertindak secara sepihak.
Pernyataan kontroversial itu disampaikan Trump kepada wartawan pada Kamis (6/11/2025). Dengan nada tegas dan penuh keyakinan, ia menyebut bahwa serangan Israel tersebut merupakan keputusan yang ia dukung dan arahkan.
“Israel menyerang lebih dulu. Serangan itu sangat, sangat dahsyat. Saya yang bertanggung jawab penuh atas serangan itu,” ujar Trump, seperti dikutip Al Jazeera.
Ia menambahkan, “Ketika Israel menyerang Iran pertama kali, itu adalah hari yang luar biasa bagi Israel karena serangan itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada serangan-serangan lainnya jika digabungkan.”
Pernyataan itu sontak menyita perhatian publik internasional, mengingat konflik Israel-Iran merupakan salah satu isu paling sensitif yang melibatkan pertaruhan stabilitas Timur Tengah dan konsensus global mengenai non-proliferasi nuklir.
Pernyataan terbaru Trump menimbulkan pertanyaan besar tentang inkonsistensi informasi yang disampaikan pemerintah AS pada Juni lalu. Saat serangan terjadi, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyampaikan bahwa Washington tidak terlibat dalam operasi Israel terhadap Iran.
“Malam ini, Israel mengambil tindakan sepihak terhadap Iran. Kami tidak terlibat dalam serangan terhadap Iran, dan prioritas utama kami adalah melindungi pasukan AS di kawasan tersebut” ujar Rubio.
Namun pernyataan Trump pada 6 November membuka babak baru. Jika klaim Trump benar, maka AS bukan hanya mengetahui rencana serangan Israel, tetapi ikut mengkoordinasikan dan bahkan mengarahkan operasi tersebut.
Fakta ini diyakini dapat memicu respons keras dari komunitas internasional, terutama negara-negara Timur Tengah dan Dewan Keamanan PBB.
Serangan Israel pada 13 Juni 2025 merupakan salah satu eskalasi terbesar dalam sejarah permusuhan kedua negara. Serangan itu menewaskan sejumlah jenderal tinggi Iran, sejumlah ilmuwan nuklir, serta banyak warga sipil.
Iran merespons secara agresif dengan meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone ke wilayah Israel. Bentrokan tersebut nyaris menyeret kawasan Timur Tengah ke ambang perang terbuka.
Di tengah kekacauan itu, Amerika Serikat kemudian mengumumkan bahwa mereka turut melakukan serangan tambahan, yakni membombardir tiga fasilitas nuklir utama Iran. AS berdalih bahwa langkah tersebut diambil demi mencegah kemampuan ofensif Iran meningkat.
Namun kini, pernyataan Trump memberi narasi baru: bahwa AS bukan hanya merespons, tetapi menjadi otak di balik eskalasi tersebut.
Trump dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah menyatakan bahwa serangan gabungan AS-Israel pada Juni lalu berhasil menghancurkan sebagian besar program nuklir Iran.
Ia menyebut operasi itu sebagai pencapaian besar yang akan membuahkan stabilitas jangka panjang di Timur Tengah.
Namun, analis keamanan global berpendapat berbeda. Mereka mengatakan bahwa:
-
Iran sebelumnya telah menyebar fasilitas nuklirnya di berbagai lokasi tersembunyi,
-
beberapa pusat riset bawah tanah diyakini selamat dari serangan,
-
dan program nuklir Iran sudah sedemikian maju sehingga tidak mungkin dihentikan hanya dengan satu serangan besar.
Pernyataan Trump mengenai tanggung jawabnya atas serangan Israel-Iran disampaikan dalam konteks politik domestik AS. Ia menekan Partai Republik di Senat untuk mencabut hak filibuster, aturan yang memungkinkan minoritas menggagalkan undang-undang meski mayoritas mendukungnya.
Trump menekankan bahwa untuk menjalankan visi besar politik luar negeri dan keamanan nasionalnya, Partai Republik harus memiliki keleluasaan penuh dalam proses legislasi. Ia membandingkan hal itu dengan ketegasan Israel yang menyerang Iran.
Meskipun mengklaim sebagai arsitek serangan ke Iran, Trump secara paradoks juga menyatakan bahwa ia ingin mencapai kesepakatan besar dengan Iran di masa jabatan keduanya. Ia berharap Iran bersedia menjalin hubungan formal dengan Israel, sebuah skenario yang dianggap mustahil oleh banyak pengamat.
Sejak awal masa jabatannya, Trump membuka kembali negosiasi terkait program nuklir Iran, dengan tujuan menyusun perjanjian baru yang lebih ketat dibandingkan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), perjanjian nuklir era Obama yang ia cabut pada periode pertama kepresidenannya.
Namun klaim keterlibatan langsung dalam serangan besar terhadap Iran sangat berpotensi menghancurkan peluang diplomasi tersebut.
(Redaksi)