Wacana legalisasi kasino kembali muncul ke permukaan setelah Anggota DPR RI Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, menyampaikan usulannya dalam Rapat Kerj...
IDENESIA.CO - Wacana legalisasi kasino kembali muncul ke permukaan setelah Anggota DPR RI Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, menyampaikan usulannya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR bersama Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan pada Kamis (8/5/2025).
Galih mendorong pemerintah berpikir “out of the box” dalam mencari sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Salah satu yang ia soroti adalah potensi industri kasino, mencontoh negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab (UEA) yang kini mulai membuka pintu terhadap operasional kasino dalam skema pariwisata dan investasi.
“Mohon maaf nih, saya bukannya mau apa-apa, tapi UEA kemarin udah mau jalanin kasino. Coba negara Arab jalanin kasino. Maksudnya mereka kan out of the box gitu kementerian dan lembaganya,” kata Galih, dikutip Minggu (25/5/2025).
Industri kasino secara global merupakan salah satu penyumbang besar bagi pendapatan negara-negara yang mengaturnya secara legal. Laporan Statista (2023) mencatat, pendapatan industri kasino global mencapai lebih dari US$263 miliar per tahun, dengan kontribusi signifikan dari wilayah seperti Makau, Las Vegas, dan Singapura.
Negara tetangga seperti Singapura bahkan memperoleh lebih dari S$2 miliar (sekitar Rp23 triliun) per tahun hanya dari dua kasino legal yang beroperasi di Marina Bay Sands dan Resorts World Sentosa.
“Kasino bukan sekadar tempat judi, tapi pusat ekonomi: pariwisata, hiburan, perhotelan, hingga kuliner. Namun, regulasinya harus sangat ketat agar tidak menjadi bumerang sosial,” ujar ekonom INDEF, Tauhid Ahmad, saat diminta tanggapan, Minggu (25/5).
Indonesia sendiri pernah merasakan dampak ekonomi langsung dari legalisasi kasino. Pada tahun 1967, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin melegalkan perjudian secara terbatas melalui SK Gubernur No. 805/A/k/BKD/1967, sebagai solusi untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang terbengkalai karena minimnya anggaran negara.
Menurut laporan Harian Kompas (23 November 1967) dan Sinar Harapan (21 September 1967), kasino pertama dan satu-satunya di Indonesia dibuka di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta. Kasino ini menyumbangkan Rp25 juta per bulan ke kas daerah angka yang sangat besar saat itu. Sebagai perbandingan, harga emas tahun 1967 hanya Rp230 per gram, artinya pendapatan itu setara dengan lebih dari 108 kilogram emas per bulan.
Dana dari kasino digunakan untuk membangun jalan, rumah sakit, sekolah, dan jembatan. Ali Sadikin sendiri dikenal dengan pendekatannya yang pragmatis dan pro pembangunan, meski kerap kontroversial.
Berapa Potensi PNBP Jika Kasino Dilegalkan Saat Ini?
Jika kita mengacu pada model Singapura dan disesuaikan dengan skala Indonesia, berikut simulasi potensi PNBP dari satu kasino resmi:
Jumlah wisatawan mancanegara (data BPS 2024): ± 11 juta/tahun
Jika hanya 1% wisatawan asing bermain di kasino: 110.000 orang
Rata-rata pengeluaran kasino per orang (mengacu data Las Vegas): US$1.200 = Rp19 juta
Total belanja = 110.000 x Rp19 juta = Rp2,09 triliun
Dengan tarif pajak dan lisensi 15%–20%: potensi penerimaan = ± Rp313–418 miliar/tahun
Dan ini baru dari satu lokasi. Jika dikembangkan di tiga wilayah khusus pariwisata internasional seperti Bali, Batam, dan Bintan, potensi penerimaan bisa menembus Rp1–1,5 triliun per tahun, belum termasuk efek berganda terhadap sektor lain seperti perhotelan, UMKM, transportasi, dan tenaga kerja.
Risiko Ekonomi dan Sosial
Meski terlihat menjanjikan secara angka, legalisasi kasino tidak lepas dari risiko serius:
Kebocoran Dana dan Korupsi
Jika tidak diawasi ketat, potensi penerimaan negara bisa “ditilap” melalui skema perizinan gelap, aliran dana ke aparat, atau pembiaran perjudian ilegal.
Eksploitasi Warga Lokal
Negara seperti Filipina dan Kamboja menghadapi kasus di mana masyarakat lokal menjadi korban kecanduan judi. Karena itu, pembatasan akses untuk WNI, seperti yang diterapkan Ali Sadikin perlu dipertimbangkan kembali.
Ekonomi vs Etika
Masuknya kasino bisa menciptakan konflik nilai di masyarakat, terutama di negara yang berbasis pada nilai-nilai religius dan budaya timur seperti Indonesia.
Usulan legalisasi kasino sejauh ini masih dalam bentuk wacana. Namun, sejarah membuktikan bahwa Indonesia pernah berhasil memanfaatkan kasino sebagai instrumen ekonomi tanpa membuatnya menjadi industri bebas.
Dengan pendapatan negara yang masih bergantung besar pada sektor pajak dan SDA, alternatif seperti ini bisa menjadi opsi berani yang butuh regulasi ketat, lokasi terbatas, dan pengawasan akuntabel.
(Redaksi)